conti Ordinary Girl: November 2013

Selasa, 19 November 2013

Tanggung Jawab

Nama : Chairunnisa
Kelas : 1PA02
NPM : 11513863

TANGGUNG JAWAB


Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai wujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab juga termasuk sifat terpuji yang mendasar dalam diri manusia. Selaras dengan fitrah, tetapi bisa juga tergeser oleh faktor eksternal. Setiap individu memiliki sifat ini. Ia akan semakin membaik bila kepribadian orang tersebut semakin meningkat. Ia akan selalu ada dalam diri manusia karena pada dasarnya setiap insan tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan sekitar yang menuntut kepedulian dan tanggung jawab. Inilah yang menyebabkan frekwensi tanggung jawab masing-masing individu berbeda.

Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang bertanggung jawab. Disebut demikian karena manusia, selain merupakan makhluk individual dan makhluk sosial, juga merupakan makhluk Tuhan. Tanggung jawab adalah ciri manusia beradab (berbudaya). Manusia merasa bertanggung jawa, karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengabdian atau pengorbanannya. Untuk memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh usaha melalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung,memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.

Dalam konteks social, manusia merupakan makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendirian dengan perangkat nilai-nilai selera sendiri. Nilai-nilai yang diperankan seseorang dalam jaminan sosial harus dipertanggungjawabkan sehingga tidak mengganggu konsensus nilai yang telah disetujui bersama. Masalah tanggung jawab dalam konteks individual berkaitan dengan konteks teologis. Manusia sebagai makhluk individual artinya manusia harus bertanggung jawab terhadap dirinya (seimbangan jasmani dan rohani) dan harus bertanggung jawab terhadap Tuhannya (sebagai penciptanya). Tanggung jawab manusia terhadap dirinya akan lebih kuat intensitasnya apabila ia mentiliki kesadaran yang mendalam. Tanggung jawab manusia terhadap dirinya juga muncul sebagai akibat keyakinannya terhadap suatu nilai.

Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah keberanian. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung resiko atas segala yang menjadi tanggung jawabnya. Ia jujur terhadap dirinya dan jujur terhadap orang lain, tidak pengecut dan mandiri. Dengan rasa tanggung jawab, orang yang bersangkutan akan berusaha melalui seluruh potensi dirinya. Selain itu juga orang yang bertanggung jawab adalah orang yang mau berkorban demi kepentingan orang lain.

Tanggung jawab mempunyai kaitan yang sangat erat dengan perasaan. Yang dimaksud adalah perasaan nurani kita, hati kita yang mempunyai pengaruh besar dalam mengarahkan sikap kita menuju hal positif. Nabi bersabda: "Mintalah petunjuk pada hati (nurani)mu."

Tanggung jawab juga berkaitan dengan kewajiban. Kewajiban adalah sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang. Kewajiban merupakan bandingan terhadap hak dan dapat juga tidak mengacu kepada hak. Maka tanggung jawab dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kewajibannya. Kewajiban dibagi menjadi 2 macam, yaitu :

1. Kewajiban Terbatas
Kewajiban ini tanggung jawab diberlakukan kepada setiap orang. Contohnya undang-undang larangan membunuh, mencuri yang disampingnya dapat diadakan hukuman-hukuman.

2. Kewajiban tidak Terbatas
Kewajiban ini tanggung jawabnya diberlakukan kepada semua orang. Tanggung  jawab terhadap kewajiban ini nilainya lebih tinggi, sebab dijalankan oleh suara hati, seperti keadilan dan kebajikan.

Orang yang bertanggung jawab dapat memperoleh kebahagiaan, karena orang tersebut dapat menunaikan kewajibannya. Kebahagiaan tersebut dapat dirasakan oleh dirinya atau orang lain. Sebaliknya, jika orang yang tidak bertanggung jawab akan menghadapi kesulitan karena ia tidak mengikuti aturan, norma, atau nilai-nilai yang berlaku. Problema utama yang dirasakan pada zaman sekarang se­hubungan dengan masalah tanggung jawab adalah berkaratnya atau rusaknya perasaan moral dan rasa hormat diri terhadap pertanggungjawaban.

Orang yang bertanggung jawab itu akan mencoba untuk berbuat adil, tetapi adakalanya orang yang bertanggung jawab tidak dianggap adil karena runtuhnya nilai-nilai yang dipegangnya dan runtuhnya keimanan terhadap Tuhan. Orang yang demikian tentu akan mempertanggung jawabkan segala sesuatunya kepada Tuhan, karena hanya Tuhan lah yang bisa memberikan hukuman atau cobaan kepada manusia agar manusia mau mempertanggung jawabkan atas segala perbuatannya.

Dalam wacana keislaman, tanggung jawab adalah tanggung jawab personal. Seorang muslim tidak akan dibebani tanggung jawab orang lain. Allah berfirman: "Setiap jiwa adalah barang gadai bagi apa yang ia kerjakan." Dan setiap pojok dari ruang kehidupan tidak akan lepas dari tanggung jawab. Kullukum râ'in wa kullukum mas'ûlun 'an Ro‘iyyatih.....

Tanggung jawab bisa dikelompokkan dalam dua hal :
Pertama, tanggung jawab individu terhadap dirinya pribadi. Dia harus bertanggung jawab terhadap akal(pikiran)nya, ilmu, raga, harta, waktu, dan kehidupannya secara umum. Rasulullah bersabda: "Bani Adam tidak akan lepas dari empat pertanyaan (pada hari kiamat nanti); Tentang umur, untuk apa ia habiskan; Tentang masa muda, bagaimana ia pergunakan; Tentang harta, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia gunakan; Tentang ilmu, untuk apa ia amalkan."

Kedua
, tanggung jawab manusia kepada orang lain dan lingkungan (sosial) di mana ia hidup. Kita ketahui bersama bahwa manusia adalah makhluq yang membutuhkan orang lain dalam hidupnya untuk pengembangan dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kewajiban-kewajiban moral terhadap lingkungan sosialnya. Kewajiban sangat erat kaitannya dengan eksistensi seseorang sebagai bagian dari masyarakat. Kita sadar bahwa kalau kita tidak melaksanakan tanggung jawab terhadap orang lain, tidak pantas bagi kita menuntut orang lain  untuk bertanggung jawab pada kita. Kalau kita tidak berlaku adil pada orang lain, jangan harap orang lain akan berbuat adil pada kita.

Seorang muslim tidak boleh melepas tangan (menghindar dari tanggung jawab) dengan beralasan bahwa kesalahan yang ia kerjakan adalah takdir yang ditentukan Allah kepadanya. Tanggung jawab tetap harus ditegakkan. Allah hanya menentukan suratan ulisan) tentang apa yang akan dikerjakan manusia berdasarkan keinginan mereka yang merdeka, tidak ada paksaan. Dari sinilah manusia dituntut untuk bertanggung jawab terhadap apa yang ia lakukan. Mulai dari hal yang sangat kecil sampai yang paling besar. "Barang siap yang berbuat kebaikan, walau sebesar biji atom, dia akan melihatnya. Dan barang siapa yang berbuat kejelekan, walau sebesar biji atom, maka ia akan melihatnya pula" (al Zalzalah 7-8).



Contoh :
Tanggung jawab terhadap keluarga

Seorang  ibu telah  dikarunia  tiga  anak, kemudian  oleh  sesuatu  sebab suaminya meninggal  dunia. Ia tidak mempunyai  pekerjaan/tidak bekerja  di waktu  suaminya  masih  hidup,  oleh karena itu demi  rasa tanggungjawabnya  terhadap  keluarga, ia memutuskan untuk melacurkan  diri (bekerja sebagai seorang pelacur).

Tanggapan/Pembahasan :
Keluarga merupakan masyarakat kecil. Keluarga terdiri dari suami, ister, ayah, ibu anak-anak, dan juga orang lain yang menjadi anggota keluarga. Tiap anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarga. Tanggung jawab ini menyangkut nama baik keluarga, tetapi tanggung jawab juga merupakan kesejahteraan, keselamatan. pendidikan, dan kehidupan. Seorang hamba ALLAH mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga. Tanggung jawab terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggung jawab terhadap diri sendiri, karena memelihara diri sendiri berkaitan dengan perintah memelihara iman keluarga. Oleh karena itu dalam Al-Qur’an dinyatakan dengan quu anfusakum waahlikum naaran (jagalah dirimu dan keluargamu dengan iman, dari neraka).

            Ditinjau  dari segi moral, hal tersebut tidak bisa diterima karena melacurkan diri termasuk   tindakan/pekerjaan yang berdosa, tetapi dari segi tanggung jawab ia termasuk  orang  yang  dipuji, karena demi rasa tanggung  jawabnya terhadap keluarga, ia rela berkorban menjadi  manusia yang  hina.

Sumber Teori :
http://dicky_funny.tripod.com/tanggungjawab.htm
http://sanusiadam79.wordpress.com/2013/05/01/manusia-dan-tanggung-jawab/
http://yogiearieffadillah.wordpress.com/2013/06/04/makalah-manusia-dan-tanggung-jawab/

Minggu, 17 November 2013

Hubungan Kegelisahan dengan Pengharapan

Nama : Chairunnisa
Kelas : 1PA02
NPM : 11513863

 

KEGELISAHAN

 Kegelisahan berasal dari kata “gelisah”. Gelisah artinya rasa yang tidak tentram di hati atau merasa selalu khawatir, tidak dapat tenang (tidurnya), tidak sabar lagi (menanti), cemas, dan sebagainya. Rasa gelisah ini sesuai dengan suatu pendapat yang menyatakan bahwa manusia yang gelisah itu dihantui rasa khawatir atau takut. Manusia suatu saat dalam hidupnya akan mengalami kegelisah. Apabila kegelisahan ini cukup lama hinggap pada manusia, akan menyebabkan suatu gangguan penyakit. Kegelisahan (ancienty) yang cukup lama akan menghilangkan kemampuan untuk merasa bahagia. Kegelisahan selalu menunjukan kepada suasana negatif atau ketidak sempurnaan, tetapi mempunyai harapan. Dikatakan negatif atau ketidaksempurnaan karena menyentuh nilai –nilai kemanusiaan yang menimbulkan kerugian. Kegelisahan menunjukan kepada suasana positif dan optimis karena masih ada harapan bebas dari kegelisahan yang mendorong manusia mencari kesempurnaan dan mendorong manusiasupaya kreatif. Tragedi dunia modern tidak sedikit menyebabkan kegelisahan. Hal ini mungkin akibat kebutuhan hidup yang meningkat rasa individualistis dan egoisme,persaingan dalam hidup, keadaan yang tidak stabil, dan seterusnya. Kegelisahan dalam konteks budaya dapatlah dikatakan sebagai akibat adanya insting manusia untuk berbudaya, yaitu sebagai upaya mencari “kesempurnaan“ atau dari segi batin manusia, gelisah sebagai akibat dosa pada hati manusia. Tidak jarang akibat kegelisahan seseorang sekaligus membuat orang lain menjadi korbannya. Penyebeb kegelisahan dapat pula dikatakan akibat mempunyai kemampuan untuk membaca dunia dan mengetahui misteri kehidupan. Kehidupan ini yang menyebabkan mereka gelisah. Mereka sendiri tidak tahu mengapa mereka gelisah, mereka hidupnya kosong dan tidak mempunyai arti. Orang yang tidak mempunyai dasar dalam menjalankan tugas (hidup), sering ditimpa kegelisahan. Kegelisahan yang demikian sifatnya abstrak sehingga disebut kegelisan murni, yaitu tanpa mengetahui apa penyebabnya. Bentuk- bentuk kegelisahan manusia berupa keterasingan, kesepian, ketidakpastian. Perasaan-perasaan semacam ini silih berganti dengan kebahagiaan, kegembiraan dalam kehidupan manusia.  Tentang perasaan cemas ini, Sigmund Freud membedakannya menjadi tiga macam, yaitu :

1. Kecemasan obyektif. 

Kegelisahan ini mirip dengan kegelisahan terapan, seperti anaknya yang belum pulang, orang tua yang sedang sakit keras, dan sebagainya.

2. Kecemasan neurotik (saraf).

Hal ini timbul akibat pengamatan tentang bahaya dari naluri. Contohnya dalam penyesuaian diri dengan lingkungan, rasa takut yang irasional semacam fobia, rasa gugup, dan sebagainya.

3. Kecemasan moral. 

Tiap pribadi memiliki bermacam-macam emosi, antara lain : iri, benci, dendam, dengki, marah,takut, gelisah, cinta, rasa kurang (inferiot).

Setiap orang memiliki emosi, dan emosi penting bagi kemajuan. Namun, emosi tidak terbendung akan menyebabkan perasaan–perasaan cemas, gelisah, khawatir, benci dan perasaan negatif lainnya. Emosi diri sendiri seperti perasaan iri, dengki,dendam, hasud, marah, rendah diri, dan sebagainya. Sifat seperti rasa iri, benci, dengki, dendam dan sebagainya adalah sifat yang tidak terpuji, baik diantara sesama manusia, maupun dihadapan Tuhan. Dengan adanya sifat itu, seseorang akan merasa khawatir, takut, cemas, gelisah, dan putus asa.Uraian tentang penderitaan disini dianalogikan dengan perasaan gelisah (kegelisahan hati) sebagai akibat kecemasan moral. Untuk mengatasi kegelisahan ini(dalam ajaran islam), manusia diperintahkan untuk meningkatkan iman, takwa, dan amal shaleh. Seperti difirmankan : “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ditempa kesusahan, ia berkeluh kesah, tetapi bila ia mendapatkan kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,mereka yang tetap mengrjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang miskin (yang tidak dapat meminta), dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap adzab Tuhannya.’’

Hanya dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan, maka hati gelisah manusia akan hilang. Mendekatkan diri bukan hanya dengan cara melalui hubungan vertikal dengan Tuhan, tetepi juga melalui hubungan horizontal dengan sesame manusia sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan sendiri.

Gelisah tergolong penyakit batin, istimewanya penyakit ini dapat menyerang siapasaja, darin golongan apa, dan bangsa apapun. Bila dibandingkan dengan rasa takut,daerah operasionalnya lebih luas. Sebab orang yang pemberani, tak mungkin diserangrasa takut, atau orang yang mempunyai obat penangkal takut tidak akan dijemahnya. Umpamanya orang yang tidak pernah mengerjakan perbuatan salah sudah pasti tidak akan takut dituntut.

Penyakit hati yang satu ini berbeda dengan penyakit-penyakit yang ada di dalam tubuh kita. Sebab tiada kuman seperti penyakit biasa, obatnya pun tidak ada yang menjualnya. Kuman-kuman penyakit batin tak akan dapat dilihat dengan mikroskop, yang dapat melihat adalah hanya matahati orang bersangkutan. Jawaban yang paling tepat dengan penyakit yang satu ini adalah kita kembali kepada “iman”. Jelasnya bila iman seseorang itu tebal maka tidak akan kejangkitan penyakit atau perasaan gelisah. Sebab orang yang beriman kuat selalu ingat kepada Tuhan. Orang yang imannya kuat yakin benar bahwa apa yang akan terjadi atas dirinya itu sudah ada dalam suratan Tuhan. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya : “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tidak ada yang mengetahuinya selain Dia ; dan Dia mengetahui apa-apa yang ada di lautan ; dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan sepengetahuan Dia ; dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau kering, melainkan sudah tertulis dalam kitab yang nyata.” (Q.S. Al-An’am : 59).

Disamping itu pula agar seseorang tidak menjadi gelisah, marilah kita selalu mengingat akan firman Allah yang tersirat dalam Al-Qur’an, surat Ar-Ra’d, ayat 28 yang artinya :

“Ketahuilah bahwa hanya dengan selalu mengingat Allah hati akan menjadi tenang tentram.”



HARAPAN

Harapan berasal dari kata harap, artinya keinginan supaya sesuatu terjadi; sehingga harapan  berarti sesuatu yang diinginkan  dapat terjadi. Dengan demikian  harapan menyangkut masa  depan.

Setiap orang mempunyai harapan. Tanpa harapan manusia tidak ada artinya sebagai manusia. Manusia yang tidak mempunyai harapan berarti tidak dapat diharapkan lagi. Menurut kodratnya dalam diri manusia ada dorongan yakni dorongan kodrat dan dorongan kebutuhan hidup. Dorongan kodrat itu ialah menangis, tertawa, berkata, berpikir, bercinta, mempunyai keturunan, dan sebagainya.Kebutuhan hidup ialah kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani ialah pangan, sandang, dan papan.sedangkan kebutuhan rohani ialah meliputi kebahagian, kesejahteraan, kepuasan hiburan dan sebagainya. Dalam mencukupi kebutuhan itu, baik kebutuhan kodrat maupun kebutuhan hidup manusia tak dapat mencapai sendiri, melainkan harus dengan bantuan orang lain. Berdasarkan dorongan kebutuhan kodrat dan kebutuhan hidup itu, maka orang mengharapkan agar kebutuhan hidup itu terpenuhi. Sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia itu, Abraham maslow mengatagorikan kebutuhan manusia menjadi lima macam :
 

1. Harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup (survival).
2. Harapan untuk memperoleh keamanan (safety).
3. Harapan untuk memperoleh hak dan kewajiban untuk mencintai dan dicintai 
    (boliving and love).
4. Harapan memperoleh status atau untuk diterima atau diakui lingkungan.
5. Harapan untuk memperoleh perwujudan dan cita-cita (self actualization).

 Kita ingat akan ibarat “Manusia tanpa cita-cita ibarat sudah mati sebelum ajal”, artinya orang yang tidak suka atau tidak mempunyai cita-cita atau harapan itu tak cita-cita atau harapan. Jadi,  harapan itu sifatnya manusiawi dimiliki oleh siapapun dan dari golongan apapun. Bila kita tinjau dari wujudnya dapat dikatakan tidak terhingga, namun bila dilihat dari tujuannya hanya ada satu, ialah hidup bahagia. Bahagia dunia dan akhirat.

Harapan tersebut tergantung pada pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup, dan kemampuan masing-masing.  Misalnya, Budi yang hanya mampu membeli sepeda, biasanya tidak mempunyai harapan untuk membeli mobil. Seorang yang mempunyai harapan yang bcrlebihan tentu menjadi buah tertawaan orang banyak, atau orang itu seperti peribahasa “Si pungguk merindukan bulan”

            Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha orang yang mempunyai harapan, misalnya Rafiq mengharapkan nilai A dalam ujian yang akan datang, tetapi tidak ada usaha, tidak pernah hadir kuliah. Ia menghadapi ujian dengan santai. Bagaimana Rafiq memperoleh nilai A, lulus pun mungkin tidak (?)

      Seandainya harapan belum berhasil atau belum tercapai ia akan tetap bersabar tanpa mengurangi usahanya; sebab ia yakin Tuhan tidak akan mengubah nasibnya, bila ia sendiri tidak mau berusaha pada perubahan itu. Tidak ada kata-kata putus asa, sebab putus asa adalah perbuatan orang-orang yang ingkar pada Tuhan. Bila harapannya berhasil, maka ia harus meningkatkan rasa syukurnya namun bila belum berhasil, maka ia akan tetap bersabar dan bertawakal. Berharap agar hari esok lebih baik daripada hari ini memang hak dan kewajiban kita, namun kita harus selalu sadar bahwa harapan tak selamanya menjadi kenyataan.Yang penting marilah kita selalu ingat pesan Nabi Muhammad saw. :“Berusahalah untuk urusan duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya; dan berusahalah untuk urusan akhiratamu seolah-olah kamu akan mati esok pagi.

            Harapan harus berdasarkan  kepercayaan,  baik kepercayaan  pada diri sendiri, maupun kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agar harapan terwujud, maka perlu usaha dengan sungguh-sungguh.  Manusia wajib selalu berdoa. Karena usaha dan doa merupakan sarana terkabulnya harapan.


 

Contoh Kasus :

Ibu Wita adalah seorang Istri dari Pak Randy. Pada saat malam hari, Pak Randy pergi ke Manado dengan  menggunakan pesawat, dan pada pagi harinya Ibu Wita menonton berita di televisi. Di berita televisi itu ditayangkan sebuah peristiwa pesawat jatuh, dan data korban-korban yang ada di dalam pesawat tersebut. Ibu Wita melihat ada nama suaminya di salah satu nama-nama korban  yang selamat yang ada di dalam pesawat. Pada saat itu juga Ibu Wita cemas, takut, gelisah dengan apa yang terjadi dengan suaminya, dan dengan peristiwa tersebut. Yang bisa Ibu Wita lakukan hanyalah  berdoa dan berharap agar suaminya tidak mengalami luka serius.

Untuk mengatasi kegelisahan, manusia diperintahkan untuk meningkatkan iman, takwa, dan amal shaleh. Seperti firman Allah SWT yang artinya : “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, tetapi bila mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang–orang yang mengerjakan shalat, mereka yang tetap mengerjakan shalatnya, dan orang–orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang miskin (yang tidak dapat meminta), dan orang– orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang–orang yang takut terhadap adzab Tuhannya ”. (Q.S. Al-Ma’aarij : 19-27)

Hanya dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan dan memasrahkan diri kepada Tuhan, maka hati gelisah manusia akan hilang. Mendekatkan diri bukan hanya dengan cara melalui hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga melalui hubungan horizontal dengan sesama manusia sebagaimana yang diperitahkan oleh Tuhan.
 

Sumber Teori :
http://www.sarjanaku.com/2010/01/makalah-manusia-dan-kegelisahan.html

http://id.scribd.com/doc/30390466/Manusia-Kegelisahan-Dan-Harapan

Sabtu, 16 November 2013

Ideologi dan Langkah-Langkah dalam Berpandangan Hidup yang Baik

 Nama : Chairunnisa
Kelas : 1PA02
NPM : 11513863


IDEOLOGI DAN LANGKAH-LANGKAH DALAM BERPANDANGAN HIDUP YANG BAIK


Pengertian Ideologi
Kata ideologi berasal dari bahasa Yunani “idea” dan “logos”. idea mengandung arti mengetahui pikiran, melihat dengan budi. Adapun kata logos mengandung arti gagasan, pengertian, kata, dan ilmu. jadi, ideologi berarti kumpulan ide atau gagasan, pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat, atau pengalaman-pengalaman.

Istilah ideologi dicetuskan oleh Antoine Destutt Tracy (1757b-1836), seorang ahli filsafat prancis. menurutnya, ideologi merupakan cabang filsafat yang disebut science de ideas ( sains tentang ide ). Pada tahun 1796, ia mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pikiran manusia, yang mampu menunjukkan jalan yang benar menuju masa depan. Dengan begitu, pada awal kemunculannya, ideologi berarti ilmu tentang terjadinya cita-cita, gagasan, dan buah pikiran.

Dan menurut para ahli ideologi masih mempunyai banyak arti, berikut adalah pendapat para ahli tentang definisi Ideologi :
  1. Menurut Descartes,
    Ideologi adalah inti dari semua pikiran manusia.
  2. Menurut Machiavelli,
    Ideologi
    adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa.
  3. Menurut Thomas Hobbes,
    Ideologi adalah seluruh cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya.
  4. Menurut Francis Bacon,
    Ideologi adalah paduan atau gabungan pemikiran mendasar dari suatu konsep.
  5. Menurut Karl Marx,
    Ideologi adalah alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat.
  6. Menurut Napoleon,
    Ideologi adaah keseluruhan pemikiran politik dari musuh-musuhnya.
  7. Menurut Dr.Hafidh Shaleh,
    Ideologi adalah suatu pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional, yang meliputi aqidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk menjabarkan ide dan jalan keluarnya, metode mempertahankannya dan metode menyebarkannya ke seluruh dunia.
  8. Menurut The American Heritage dan Dictionary of The English Language, Fourth Edition,
    Ideologi adalah sekumpulan ide yang mencerminkan kebutuhan-kebutuhan, darapan dan tujuan sosial dari individu, kelompok, golongan atau budaya. dan ideologi adalah sekumpulan ajaran atau kepercayaan yang membentuk dasar-dasar politik, ekonomi, dan sistem-sistem yang lain.
  9. Menurut Random House Unabridged Dictionary,
    Ideologi adalah sekumpulan ajaran, cerita suatu bangsa, kepercayaan dan lain -lain yang menuntut individu, gerakan sosial, institusi, golongan, atau kelompok yang besar.
  10. Menurut Prof. Lowenstein,
    Ideologi adalah suatu penyelarasan atau gabungan pola pikiran dan kepercayaan, atau pemikiran bertukar menjadi kepercayaan, penerangan sikap manusia tentang hidup dan kehadirannya dalam masyarakat dan mengusulkan sesuatu kepemimpinan dan menyeimbangkannya berdasarkan pemikirannya dan kepercayaan itu.
  11. Menurut Sastrapratedja,
    Ideologi adalah seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang berorganisis menjadi suatu sistem yang teratur dan ideologi adalah ilmu yang berkaitan dengan cita-cita, yang terdiri atas seperangkat gagasan-gagasan atau pemikiran manusia mengenai soal-soal cita politik, doktrin atau ajaran, nilai-nilai yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dan dari pengertian para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud ideologi adalah 
  • Nilai yang menentukan seluruh hidup manusia. 
  • Gagasan yang diatur dengan baik tentang manusia dan kehidupannya. 
  • Kesepakatan bersama yang membuat nilai dasar masyarakat dalam suatu Negara.
  • Pembangkit kesadaran masyarakat akan kemerdekaan melawan penjajah
  • Gabungan antara pandangan hidup yang merupakan nilai-nilai dari suatu bangsa serta dasar negara yang memiliki nilai-nilai falsafah yang menjadi pedoman hidup suatu bangsa.


 Langkah-Langkah Dalam Berpandangan

Manusia pasti mempunyai pandangan hidup walau bagaimanapun bentuknya. Bagaimana kita memperlakukan pandangan hidup itu tergantung pada orang yang bersangkutan. Ada yang memperlakukan pandangan hidup itu sebagai sarana mencapai tujuan dan ada pula yang memperlakukan sebagai sarana kesejahteraan, ketenteraman dan sebagainya. Maka kita seharusnya mempunyai langkah-langkah berpandangan hidup ini. Karena hanya dengan mempunyai langkah-langkah itulah kita dapat memperlakukan pandangan hidup sebagai sarana mencapai tujuan dan cita-cita dengan baik. Maka dari itu di bawah ini beberapa langkah-langkah dalam berpandangan hidup yang baik, sebagat berikut:

 1). Mengenal
Mengenal merupakan suatu kodrat bagi rnanusia yaitu merupakan tahap pertama dari setiap aktivitas hidupnya yang dalam hal ini mengenal apa itu pandangan hidup. Tentunya kita yakin dan sadar bahwa setiap manusia itu pasti mempunyai pandangan hidup, maka kita dapat memastikan bahwa pandangan hidup itu ada sejak manusia itu ada, dan bahkan hidup itu ada sebelum manusia itu belum turun ke dunia. Adam dan hawalah dalam hal ini yang merupakan manusia pertama, dan berarti pula mereka mempunyai  pandangan hidup yang digunakan sebagai pedoman dan yang mernberi petunjuk kepada mereka.

            Sedangkan kita sebagai mahluk yang bernegara dan atau beragama pasti mempunyai pandangan hidup juga dalam beragama, khususnya  Islam, kita rnernpunyai pandangan hidup yaitu AI-Qur’an, Hadist dan ijmak Ulama, yang merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lainnya.


 2). Mengerti
            Tahap kedua untuk berpandangan hidup yang baik adalah mengerti. Mengerti disini dimaksudkan   mengerti terhadap pandangan hidup itu sendiri. Bila dalam bernegara kita berpandangan pada Pancasila, maka dalam berpandangan hidup pada Pancasila kita hendaknya mengerti apa Pancasila dan bagaimana  mengatur kehidupan bernegara. Begitu juga bagai yang berpandangan hidup pada agama Islam. Hendaknya kita mengerti apa itu Al-Qur’an, Hadist dan ijmak itu dan bagaimana ketiganya itu mengatur kehidupan baik di dunia maupun di akherat Selain itu juga kita mengerti untuk apa dan dari mana Al Qur’an, hadist, dan ijmak itu. Sehingga dengan demikian mempunyai suatu konsep pengertian tentang pandangan hidup dalam  Agama  Islam. Mengerti terhadap pandangan hidup di sini memegang  peranan penting. Karena dengan mengerti, ada kecenderungan mengikuti apa yang terdapat dalam pandangan hidup itu.

3). Menghayati
            Langkah selanjutnya setelah mengerti pandangan hidup adalah menghayati pandangan hidup itu. Dengan  menghayati pandangan hidup kita memperoleh gambaran yang tepat dan benar mengenai  kebenaran pandangan hidup itu sendiri.


            Menghayati disini dapat diibaratkan menghayati nilai-nilai yang terkandung didalanmya, yaitu dengan memperluas dan memperdalam pengetahuan mengenai pandangan hidup itu sendiri. Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam rangka menghayati  ini, menganalisa hal-hal yang berhubungan dengan  pandangan  hidup, bertanya kepada orang yang dianggap lebih tabu dan lebih berpengalaman mengenai isi pandangan hidup itu atau mengenai pandangan hidup itu sendiri. Jadi dengan menghayati pandangan hidup kita akan memperoleh mengenai kebenaran tentang pandangan hidup itu sendiri.

            Yang perlu diingat dalam langkah mengerti dan menghayati pandangan hidup itu, yaitu harus  ada. Sikap penerimaan terhadap pandangan hidup itu sendiri. Dalam sikap penerimaan pandangan hidup ini ada dua altematif yaitu penerimaan secara ikhlas dan penerimaaan secara tidak ikhlas.

       Dengan kata lain langkah mengenai mengerti dan menghayati ini ada sikap penerimaan dan hal lain merupakan langkah yang menentukan terhadap langkah selanjutnya. Bila dalarn mengerti dan menghayati ini ada penerimaan secara ikhlas,maka langkah selanjutnya akan memperkuat keyakinannya. Akan tetapi bila sebaliknya langkah selanjutnya tidak berguna.

4). Meyakini
     Setelah mengetahui kebenaran dan validitas, baik secara kemanusiaan maupun ditinjau dari segi  kemasyarakatan maupun negara dan dari  kehidupan di akherat, maka hendaknya kita meyakini pandangan hidup yang telah kita hayati itu. Meyakini  ini merupakan suatu hal untuk cenderung memperoleh suatu kepastian sehingga dapat mencapai suatu tujuan hidupnya.
 

            Dengan meyakini berarti secara langsung ada penerimaan yang ikhlas terhadap pandangan   hidup itu. Adanya  sikap  menerima secara ikhlas ini maka ada kecenderungan untuk selalu berpedoman kepadanya dalam segala tingkah laku dan tindak tanduknya selalu dipengaruhi oleh pandangan hidup yang diyakininya. Dalam meyakini ini penting juga adanya iman yang teguh. Sebab dengan iman yang teguh ini dia tak akan terpengaruh oleh pengaruh dari luar dirinya yang menyebabkan  dirinya tersugesti.

Contoh bahwa keyakinan itu penting dalam tingkah laku. Kita sebagai umat yang beragama Islam yakin bahwa Allah itu mempunyai sifat yang malla dari segala yang diantaranya adalah maha mengetahui. Sifat maha mengetahui ini membuat orang yang meyakininya selalu berbuat baik. Dalam hal ini adalah keyakinan yang sebenar-benamya, akan tetapi dalam kasus tertentu ada pula orang yang walaupun meyakini, tetapi karena imannya tipis maka terpaksa melanggar ketentuannya.

5). Mengabdi
            Pengabdian merupakan sesuatu hal yang penting dalam menghayati dan meyakini sesuatu yang telah dibenarkan dan diterima baik oleh dirinya lebih-lebih oleh orang lain. Dengan mengabdi maka kita akan merasakan manfaatnya Sedangkan perwujudan manfaat mengabdi ini dapat dirasakan oleh pribadi kita sendiri. Dan manfaat itu sendiri bisa terwujud di masa masih hidup dan atau sesudah meninggal yaitu di alam akherat.

        Dampak berpandangan  hidup Islam yang antara lain yaitu mengabdi kepada orang tua (kedua orang tua). Dalam mengabdi kepada orang tua bila didasari oelh pandangan hidup Islam maka akan cenderung untuk selalu disertai dengan ketaatan dalam mengikuti segala perintahnya. Setidak-tidaknya  kita menyadari bahwa kita sudah selayaknya mengabdi kepada orang tua. Karena kita dahulu yaitu dari bayi sampai dapat berdiri sendiri tokh diasuhnya dan juga kita dididik kepada hal yang baik.

            Oleh karena itu seharusnya mengabdi kepada orang tua kita dengan perwujudannya yang berupa perbuatan yang menyenangkan hatinya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Artinya apapun yang menjadi hambatan dan tantangan kita untuk tidak mengabdi kepadanya harus selalu ditumbangkan. 


            Jadi jika kita sudah mengenal, mengerti, menghayati, dan meyakini pandangan hidup ini, maka selayaknya disertai dengan pengabdian. Dan pengabdian ini hendaknya dijadikan pakaian, baik dalam waktu tentram lebih-lebih bila menghadapi hambatan, tantangan dan sebagainya.

6). Mengamankan
            Mungkin sudah merupakan sifat manusia bahwa bila sudah mengabdikan diri pada suatu pandangan hidup lalu ada orang lain yang mengganggu dan atau mayalahkannya tentu dia tidak menerima dan bahkan cenderung untuk mengadakan perlawanan. Hal ini karena kemungkinan  merasakan  bahwa  dalam berpandangan hidup itu dia telah mengikuti langkah-langkah sebelumnya dan langkah-langkah  yang ditempuhnya itu telah dibuktikan kebenarannya sehingga akibatnya bila ada orang lain yang mengganggunya maka dia pasti akan mengadakan suatu respon entah respon itu berwujud tindakan atau lainnya.


            Proses  mengamankan ini merupakan langkah terakhir. Tidak mungkin atau sedikit kemungkinan bila belum mendalami langkah sebelumnya lalu akan ada proses mengamankan ini. Langkah yang terakhir ini merupakan langkah terberat dan benar-benar membutuhkan iman yang teguh dan kebenaran dalam menanggulangi segala sesuatu demi tegaknya pandangan hidup itu.

            Misalnya seorang yang beragama Islam dan berpegang teguh kepada pandangan hidupnyaa,lalu suatu ketika dia dicela baik secara langsung ataupun secara tidak langsung, maka jelas dia tidak menerima celaan itu. Bahkan bila ada orang yang ingin merusak atau bahkan ingin memusnahkan agama Islam baik terang-terangan ataupun secara diam-diam, sudah tentu dan sudah selayaknya kita mengadakan tindakan terhadap segala sesuatu yang menjadi pengganggu.


SUMBER :
http://keindahanblog.wordpress.com/2012/11/06/pengertian-ideologi/
http://sanusiadam79.wordpress.com/2013/04/25/manusia-dan-pandangan-hidup/

Rabu, 06 November 2013

Jogging in The Morning


The sky in The Morning 





Soooo blue!!








Yep! This morning i was jogging. Aku merasa lemas dan pusing, that's why aku memutuskan untuk menyegarkan diri dengan melakukan jogging. 














 Setelah melakukan jogging, alhamdulillah aku merasa lebih baik, lebih segar..  Sekarang aku sudah fresh!!


Selasa, 05 November 2013

Jilbab Hati atau Jilbab Aurat Terlebih Dahulu?


 “Yang penting hatinya berjilbab dulu…baru memakai jilbab beneran”.

“Saya belum berani berjilbab … belum pantas”.

“Sebenarnya sudah pingin sekali berjilbab, Mbak … tapi aku masih seperti ini. Pantaskah?”


Kita mungkin pernah mendengar ungkapan–ungkapan demikian atau yang sejenis.
Pertanyaan baliknya, “Jika merasa belum pantas mengenakan jilbab, apakah tidak berjilbab akan lebih pantas?”

Merasa diri masih banyak kekurangan, sah–sah saja. Memang lebih baik demikian daripada merasa diri sudah numero uno, sudah good enough sehingga tidak perlu memperbaiki segala yang masih perlu direnovasi. Kewajiban kita adalah introspeksi diri agar kita tidak termasuk orang–orang yang merugi karena hari ini tidak lebih baik dari kemarin. Tapi untuk urusan berjilbab, ceritanya lain.

Menutup aurat adalah perintah Allah SWT terhadap kaum Hawa. Allah memerintahkan agar kaum wanita menjulurkan jilbabnya menutupi seluruh tubuh. Seperti yang termaktub dalam kedua ayat berikut ini:

“Katakanlah kepada wanita-wanita beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.’” (Qs. An-Nuur: 31)

Dan firman-Nya,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzaab: 59)

Perintah untuk berjilbab diturunkan oleh Allah SWT untuk melindungi kaum wanita dari gangguan-gangguan yang dapat merusak kemuliaan dan kehormatannya dalam segala aspek kehidupan mengingat wanita identik dengan makhluk lemah yang berliput keindahan. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya,

“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.” (Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1173), Ibnu Khuzaimah (III/95) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 10115), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)
Ketika dalam hati sudah sreg untuk memakai jilbab, alangkah baiknya segera diwujudkan. Menunggu menjilbabi hati, akan sampai kapan? Adakah standard khusus hingga seperti apa hati kita lantas kita sudah disebut layak untuk berjilbab? Sampai hati kita benar–benar seputih salju? Mungkinkah? Malaikat namanya jika tidak berbuat dosa sama sekali. Sedangkan kita, hanya manusia biasa yang melakukan amar ma’ruf, tapi juga melakukan kesalahan dan dosa.

Menjilbabi hati beranalogi dengan khusyu’ dalam shalat. Kita harus khusyu’ ketika mengerjakan shalat. Melupakan segala hal yang bersifat duniawi dan hanya mengingat Allah SWT semata. Tentu saja, sangat sulit dilakukan. Tapi apakah lantas kita berhenti shalat karena merasa belum bisa khusyu? Sebaliknya, kita terus mengerjakan shalat dan sedikit demi sedikit terus belajar agar lebih khusyu’. Jika kita berhenti mengerjakan shalat, maka kita tidak akan tahu seperti apa rasanya khusyu’. Demikian juga hati, semestinya tidak menjadi penghalang ketika kita ingin mengenakan jilbab. Alangkah baiknya jika mulai hari ini kita kenakan jilbab, lalu seterusnya sedikit demi sedikit kita belajar memperbaiki hati kita.

Menjilbabi aurat, sebenarnya adalah menjilbabi hati juga. Mempercantik aurat sama halnya dengan mempercantik hati kita. Saya katakan demikian sebab memakai jilbab adalah perintah paten dari Illahi Rabbi. Tidak bisa ditawar-tawab lagi kecuali bagi wanita–wanita yang tidak terkena kewajiban memakainya. Membayangkan gerahnya berjilbab di saat udara panas, meninggalkan baju–baju bagus yang dimiliki untuk diganti dengan busana muslimah, menutupi rambut dengan selembar jalabib padahal biasanya dipuji–puji orang karena indah berkilau, menutupi leher jenjang yang biasanya menjadi daya tarik tersendiri. Duhh…beratnya. Ketika kita bismillaah memantabkan niat untuk berjilbab, meninggalkan semua yang memperberat langkah untuk berjilbab, artinya kita menangkan satu peperangan besar melawan diri sendiri. Maka bertambah cantiklah hati kita karena sekali lagi kita kalahkan hawa nafsu dan menggantinya dengan bi tho’atillaah.

Jadi, manakah yang didahulukan? Menjilbabi hati atau menjilbabi aurat dulu? Jawabnya mari kita lakukan keduanya bersama–sama sebab ketika kita menjilbabi aurat sebenarnya kita telah satu langkah menjilbabi hati kita.

Berjilbab bukan hanya sebuah identitas fisik sebagai seorang muslimah. Menutup aurat adalah perintah wajib yang merupakan bukti ketaatan terhadap perintah Allah SWT dan Rasul-Nya sebagaimana kewajiban shalat, puasa, haji bagi yang mampu, dan ibadah-ibadah lainnya. Ketika kita ingin menjadi muslimah yang kaaffah, maka sudah seharusnya kita terketuk untuk melaksanakan perintah-Nya, bukan?

Wallahu a’lam bisshawab.
http://www.dakwatuna.com/2013/11/01/41503/jilbab-hati-atau-jilbab-aurat-dulu/#ixzz2k6TCjdm0

Jatuh Cinta vs Bangun Cinta


Cinta adalah kekuatan…
Yang mampu merubah duri menjadi mawar…
Mengubah Cuka menjadi anggur…
Mengubah malang menjadi untung…
Mengubah sedih menjadi riang…
Mengubah sakit menjadi sehat…
Mengubah bakhil menjadi dermawan…
Mengubah kandang menjadi taman…
Mengubah penjara jadi istana…
Mengubah Amarah menjadi marah…
Mengubah musibah jadi muhibbah…
Itulah makna cinta… (Ayatul Husna)


Bicara mengenai cinta ya tidak akan pernah ada habisnya. Cintalah yang membuat terciptanya alam dan semesta ini untuk dipersembahkan kepada makhlukNYA, yang dipercaya untuk mengolahnya secara adil dan bijaksana. Cinta yang membuat Rasulullah mengucapkan kata-kata terakhir “ummati…ummati…ummati”. Cinta yang membuat Bilal, tetap mempertahankan Islamnya, sebagai bukti kecintaannya pada ALLAH dan rasul-Nya.

Cinta menempati tempat tertinggi pada hati manusia. Jatuh cinta, adalah fitrah manusia yang tak akan bisa dihindari. Setiap orang pasti pernah merasakannya. Banyak hal yang ditimbulkan karena jatuh cinta. Jatuh cinta menurut Salim A Fillah, “Suatu hal yang lumrah, sesungguhnya kita sedang mengecek tanahnya layak atau tidak, untuk membangun sebuah pondasi lalu akan kita kokohkan dengan didirikannya sebuah bangunan di dalamnya (bangun cinta)”. Jika tanahnya tidak memenuhi syarat jangan dirikan sebuah pondasi apalagi bangunan di dalamnya. Bangun cinta berarti kita telah siap mengelola rasa jatuh cinta untuk dikelola dengan baik menuju ridha ALLAH SWT. Cinta yang tertinggi kepada Sang Pemberi Cinta yakni ALLAH SWT. Cinta kepada ALLAH yang membuat kita menjalankan perintahNYA dan menjauhi laranganNYA. Cinta kepada Rasulullah yang membuat kita menjalankan sunnah-sunnahnya. Dan cinta kepada keluarga yang membuat kita terus ingin membuat mereka bangga. Banyak hal yang dapat diubah oleh cinta.

Ada 4 pilar dalam membangun cinta. Agar cinta kita layak ditumbuhkan agar cinta kita tidak menuai bencana bagi kita ataupun orang lain. Agar cinta kita berbuah manis.





Visi dalam membangun cinta
  • Cinta harus memiliki visi. Cinta harus memiliki tujuan. Cinta bukanlah sebuah penderitaan yang tak pernah berakhir. Kita harus menghijrahkan cinta agar penderitaan itu berakhir. Untuk itulah visi dalam membangun cinta harus kita bangun.
  • Seperti cintanya seorang wanita yang sangat mulia, yang diuji dengan seorang suami yang sangat sewenang-wenang dan memaksa istrinya untuk keluar dari agama Islam. Dipaksa untuk menarik kembali kata-katanya ketika dia meyakini bahwasanya dia beriman kepada ALLAH SWT. Pada akhirnya wanita mulia ini digantung oleh suaminya sendiri demi mempertahankan keislamannya. Namun wanita mulia ini tersenyum .Karena pada detik-detik terakhir, malaikat Jibril memperlihatkan bayangan yang indah untuknya sebuah rumah di syurga yang terbuat dari mutiara-mutiara indah yang khusus dipersembahkan untuknya. Asiyah binti Muzahim suami Firaun adalah wanita mulia itu. Asiyah memohon pada ALLAH. “Ya ALLAH bangunkanlah sebuah rumah untukku di Syurga, karena aku tak bisa membangun cinta di dunia dikarenakan suamiku”.

Ada lagi visi seorang wanita yang dinikahi oleh sahabat Rasulullah. Wanita tersebut masih belia berumur 18 tahun. Dan dinikahkan oleh Rasulullah dengan sahabatnya sendiri yang berumur 78 tahun. Namun sahabat ini kaget ketika calon istrinya masih sangat belia dan cantik rupawan. Seketika itu sahabat ini, mengajukan pertanyaan “apakah kau mau menikah dengan laki-laki yang seharusnya kau anggap sebagai kakekmu, lihat rambut ku sudah dipenuhi uban? Pertanda aku sudah tua. Wanita ini menjawab “Biarlah masa mudamu kau habiskan untuk berjuang bersama dengan Rasulullah, namun izinkan aku untuk mendapatkan sisanya di masa tuamu. Hasil pernikahan ini menghasilkan 3 orang anak dan akhirnya sahabat ini meninggal di usia 83 tahun. Sahabat ini bernama Utsman Bin Affan dan istrinya bernama Nayla. “Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi Utsman di hatiku, meskipun ia telah tiada”.

Buatlah visi mu dalam membangun cinta “Aku mencintaimu karena ALLAH, dengan cara yang diridhai ALLAH, dalam rangka menuju ridha ALLAH”

Emosi dalam membangun cinta
Setelah membangun visi dalam cinta. Yang harus dilakukan berikutnya adalah bagaimana mengelola emosi dalam cinta. Emosi adalah hal yang sulit dipisahkan dari cinta. Banyak yang bilang bahwasanya cemburu adalah tanda cinta. Bahkan perasaan benci pun menjadi pertanda cinta kepada seseorang.

“Jika kamu mencintai sesuatu, cintailah ia seperlunya saja, jika kamu membenci sesuatu bencilah seperlunya saja. Bisa jadi hal yang kamu benci akan kamu cintai suatu hari ataupun sebaliknya. Seorang mukmin yang sedang jatuh cinta akan menghasilkan 2 macam energi yakni energi positif dan energi negatif. Semuanya tergantung kita mau mengelola energi itu ke arah yang baik atau buruk. Jangan terjebak cinta lokasi, dunia ini begitu luas, yang terpenting tingkatkan kualitas diri untuk mendapat yang sesuai dengan kita. Seperti kisah ALI bin Abi Thalib yang mencintai Fatimah dalam diam. Cinta yang tersembunyi di dalam hati. Cinta yang menurutnya tak mungkin untuk terwujud mengingat Ali adalah sahabat yang paling kurang dari finansial dibanding sahabat yang lain. Namun Fatimah ternyata memilih Ali dibanding sahabat rasul yang lain.

Spiritual /nurani dalam membangun cinta
Cinta tidak harus memiliki. Jika kita saat ini berada di sekitar orang-orang yang kita cintai sesungguhnya itu bukanlah kepemilikan kita, itu semua hanya amanah yang datangnya dari ALLAH SWT. Kita hanya diuji untuk memberikan cinta yang tulus dan terbaik untuk orang di sekitar kita. Seperti kisah seorang Salman Al-Farisi yang minta tolong pada Abu Darda untuk mengkhitbah wanita madinah. Namun wanita tersebut menyukai Abu Darda dibanding dengan Salman itu sendiri. Namun, Salman tidak pernah kecewa, Salman malah mendukung Abu Darda dengan memberikannya mahar yang telah disiapkannya untuk pernikahannya dengan wanita tersebut.

Itulah Nurani, yang melihat segala macam keadaan dengan tenang dan tidak mengedepankan nafsu bahkan emosi.

Disiplin dalam membangun cinta

“Disiplin dalam cinta adalah ketaatan yang terjaga. Menyingkirkan semua ego ketika ALLAH dan Rasul-Nya menurunkan titahnya. Seperti luluhnya sifat keras Umar tatkala perjanjian hudiabiyah,patuhnya Hudzaifah menyelusup ke kawanan Quraisy di tengah malam yang dingin.” (Jalan Cinta Para Pejuang, Salim)

Itulah disiplin dalam cinta, mampu menahannya sampai akan tiba saatnya. Karena semuanya akan indah pada waktunya.

http://www.dakwatuna.com/2012/02/01/18340/jatuh-cinta-vs-bangun-cinta/#ixzz2k6PkxoQh
Cinta. Adakah dari kalian yang dapat mendefinisikan cinta secara pasti? Kurasa semakin keras kita mendefinisikannya, semakin terbatas ruang lingkup cinta yang kita rasakan. Cinta adalah sebentuk emosi manusiawi yang merupakan anugerah dari Sang Maha Pencinta. Banyak para tokoh mencoba mendefinisikan cinta dengan beragam kalimat mereka sendiri. Dari sekian banyak definisi cinta yang bermunculan itu, ada sebuah kesamaan yang patut kita garis bawahi, cinta yang sesungguhnya membawa kita kepada hal-hal yang baik, yang mendekatkan kita dengan Sang Pemilik Cinta.

Cinta adalah bagian dalam kehidupan yang akan senantiasa hadir. Pernahkah kau dengar bahwa hujan adalah bukti cinta Allah kepada manusia? Saat hujan, Allah turunkan rahmatNya kepada kita. Hujan adalah salah satu bukti cinta. Apakah Allah biarkan bumi ini tandus dan gersang? Jawabannya tentu tidak. Allah turunkan hujan sebagai bukti cintaNya pada kita agar bumi ini sejuk dan pepohonan tumbuh subur. Tentu saja, itu karena cinta.

Cinta itu bermacam-macam, ada cinta kepada Allah, cinta pada manusia, cinta pada agama, cinta pada tanah air, cinta pada sebuah pekerjaan, dan masih banyak lagi. Ya, sangat banyak dan entah disadari atau tidak kita telah memutuskan menjadi seorang pecinta dalam kehidupan ini. Karena mencintai setiap hal adalah keputusan yang kita buat. Mencintai berarti siap memberikan cinta sepenuh hati, bukan sekadar mengharapkan cinta dari sesuatu yang kita cintai. Pertanyaannya, sudahkah kita benar-benar mencintai? Atau hanya baru mengucapkannya saja? Jika kau katakan kau mencintai Allah, sudahkah kau cintai segala hal yang Dia cintai? Sudahkah kau melakukan segala sesuatunya hanya karena Allah? Jika kau cinta pada orang tuamu, sudahkah kau taat kepada mereka? Atau masih juga membangkang dan membuat mereka menangis? Jika kau mencintai pekerjaanmu, sudahkah kau melakukan pekerjaan itu dengan penuh cinta? Atau kau hanya mengejar tahta dan harta semata?

Saat kita mencintai sesuatu, ada satu hal yang akan terasa dalam diri kita. Kebahagiaan. Cinta adalah sesuatu yang dapat membawa manusia menuju kebahagiaan. Sebagai contoh, jika seorang guru mencintai pekerjaannya demi memajukan anak bangsa, tentu ia akan bahagia dan sepenuh hati menyampaikan pelajaran kepada murid-muridnya. Dan tentunya murid-muridnya pun akan merasakan betapa guru itu mencintainya dengan ilmu yang diberikan kepada mereka. Tidak hanya sekadar mengejar materi ataupun jabatan.

Menumbuhkan cinta adalah perkara yang lebih mudah, dibandingkan pekerjaan cinta selanjutnya yaitu merawat dan mempertahankannya. Perjalanan bersama cinta akan beriringan dengan berbagai duri di dalamnya, yang terkadang membuat kita lupa akan cinta yang awal kita bangun, bahkan terkadang membuat terkikisnya cinta itu. Maka ternyata mencintai pun adalah sebuah tantangan dan tanggung jawab. Mencintai adalah tantangan untuk kita berkorban demi sesuatu yang kita cintai. Mencintai adalah tanggung jawab untuk mempertahankan kebahagiaan dalam cinta itu sendiri.

Lalu, bagaimana dengan cinta sejati? Cinta sejati bagi orang yang beriman adalah cinta kepada Rabb-nya. Cinta terbesar dan cinta yang paling hakiki. Sementara cinta yang lain, adalah dalam rangka mencintai karena Allah. Cinta sejati hanya pantas kita tujukan pada Allah, Sang Pemilik Cinta. Tak ada satu pun alasan, yang dapat menggantikan posisi Allah dalam cinta sejati yang kita punya.

Sebagai seorang pecinta, tentu kita menginginkan cinta yang sama dari orang yang kita cintai. Kini pertanyaannya, layakkah kita dicintai? Jika cinta yang kita berikan bukan cinta yang tulus, maka pantaskah kita mendapatkan cinta yang lebih baik dari cinta yang kita berikan? Sebarkanlah cinta kepada semua orang dengan sepenuh hatimu, karena saat kita menebarkan cinta ke semua orang itulah, kita tengah mengundang cinta untuk datang.

Meskipun panjang lebar aku jelaskan, masing-masing dari kita tentu memiliki makna tersendiri atas cinta. Tidak selalu sama, tapi kadang juga tidak berbeda. Walau begitu, ternyata obrolan tentang cinta belum dan tak akan pernah selesai. Aku merasa cinta ternyata memang harus kuukir dalam kata, bukan untuk kuuraikan, tapi untuk kubuat cinta sebegitu meyakinkannya. Dengan rasa yang kuendapkan dalam bait-bait kata. Meski aku tau cinta yang nyata senyata-nyatanya hanya bisa kurasakan, bukan kuungkapkan. Cinta memang tak terlihat dan tak terdefinisikan, tetapi tak ada yang membuatku ragu akan keberadaan cinta. Karena cinta yang kumiliki, kusandarkan hanya kepadaNya.

http://www.dakwatuna.com/2012/07/15/21628/aku-tak-ragu-soal-cinta/#ixzz2k6NV16Qb

Lagi-Lagi Cinta

Berbicara mengenai cinta dan hati adalah dua hal yang saling bertautan. Tidak bisa dipisah. Karena jika bermain dengan hati, maka akan timbul sebuah efek yaitu cinta. Terlepas dari jenis cinta yang baik atau tidak. Maka hati memang harus selalu dijaga.

Jika tubuh memerlukan berbagai jenis asupan gizi guna mempertahankan kestabilan pencernaan, maka hati pun memerlukan asupan untuk menghindarkannya dari sesuatu yang kurang baik. Asupannya adalah dzikrullah.

Hati memang sangat rentan bila tidak dijaga. Bahkan meskipun sudah telaten menjaganya, kadang masih suka tergelincir. Tapi bedanya, tergelincirnya hati yang sudah ternutrisi tidak akan tergelincir sangat jauh. Pemiliknya akan menyadari kekeliruannya dan merasakan ketidaknyamanan.

Berbicara mengenai cinta, pasti juga berbicara mengenai hubungan lawan jenis. Tidak bisa di tampik, jika seseorang menyukai lawan jenis. Entah dari segi fisik, inner beauty atau dari hati. Seberapa pun ia tergolong seseorang yang shalih. Kecenderungan terhadap lawan jenis adalah hal yang normal.

Kadangkala hati bisa melesat menjauh tanpa bisa dikendalikan oleh pemiliknya. Ia bisa menyukai lawan jenisnya, meskipun kadang ia tidak ingin menyukainya. Padahal sebenarnya, bukan hati yang benar-benar melesat. Tapi ada sesuatu yang menyebabkan hati itu melesat seolah tidak mampu tergenggam.

Contohnya, jika perempuan dan laki-laki memiliki intensitas pertemuan yang tinggi. Entah karena masalah pekerjaan, organisasi, pertemanan atau lainnya. Bisa dipastikan sedikit banyak akan menimbulkan suatu perasaan khusus. Jika bukan dari pihak perempuan, maka bisa jadi dari pihak laki-laki. Seperti pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino. Cinta datang karena seringnya bertemu.

Kita tidak bisa menyalahkan keadaan, kita juga tidak bisa menyalahkan hati jika tiba-tiba tertambat pada seseorang. Karena itu adalah fitrah. Karena kita adalah manusia biasa yang memang dilahirkan cenderung untuk mencintai dan dicintai.

Jika suatu keadaan bisa sangat diminimalisasi, misalnya jika kita bisa berusaha untuk mengurangi intensitas dengan lawan jenis, itu bisa menjadi salah satu solusi. Minimal menghindari adanya persentuhan hati.

Persentuhan hati yang telah terlanjur melekat akan sangat sulit untuk terlepas. Jika pun terlepas, seperti sebuah keramik yang retak dan berusaha untuk disatukan kembali, maka tetap akan tampak bekas retakannya.

Tapi jika terlibat pada situasi yang mengharuskan kita rutin bertemu dengan lawan jenis dan kemudian muncul benih-benih cinta yang sebenarnya kita sendiri tidak menginginkan hal tersebut hadir. Jangan panik, itu lumrah. Jangan berusaha menghilangkan, kata kawan saya. Semakin kita berusaha menghilangkan maka akan semakin sulit. Cinta itu berasal dari Allah, cinta itu karunia dari Allah. Maka kembalikan saja cinta itu kepada Allah, jika kita merasa kita tidak pantas memiliki rasa cinta itu (baca: bukan pada pasangan). Bukan suatu hal yang mudah, tapi kawan saja mengajarkan untuk menikmati saja rasa itu. Biarkan waktu yang akan menghapusnya. Dan selalu berpegang kepada Allah mengenai segala rasa cinta. Agar cinta kita tidak tergelincir.

Berusaha menghindari memanjakan rasa cinta yang tiba-tiba hadir kecuali kepada yang berhak. Bagaimana pun manajemen cinta bergantung kepada masing-masing orang. Tapi tingginya ilmu tidak menjamin cinta itu tidak bisa hadir dalam hatinya, karena cinta itu fitrah.

Insya Allah, hanya dengan berpegang teguh kepada Allah, sabar atas segala kehendakNya dan mencoba memikirkan baik buruknya cinta “terlarang”, Allah akan selalu menjaga kita. Menjaga cinta kita untuk yang berhak. Hanya Allah, sutradara terbaik di muka bumi. Segala skenarionya adalah yang terindah meskipun harus mengais makna dalam kesedihan. Setiap manusia ditakdirkan memiliki cinta. Hanya Allah sebaik-baik pemberi cinta. Hanya Allah sebaik-baik landasan untuk mencintai.

http://www.dakwatuna.com/2012/04/29/19759/lagi-lagi-cinta/#ixzz2k6J6JTTP

Cinta yang Terlupakan

Jika kita berbicara cinta, maka yang terlintas adalah sesuatu yang menyejukkan, menyenangkan, menentramkan dan membuat damai. Bagi kebanyakan orang, mereka yang masih berpacaran dan memadu kasih dengan lawan jenis, akan merasakan indahnya cinta ketika bersama pasangannya. Tenteram rasanya jika ada yang selalu menemani seraya menikmati keindahan dunia berdua. Indah rasanya meski sebenarnya hubungan ini belumlah halal. Tapi seperti itulah cinta yang dirasakan para muda-mudi saat ini.

Bagi sebagian orang lainnya, yang lebih tepat disebut sebagai aktivis Islam sangatlah tidak mengenal yang namanya pacaran. Mereka cenderung menikmati masa lajangnya dengan amal dakwah. Menantikan masa indah merajut cinta ialah dengan menanti masa-masa indah pernikahan. Terkadang, membaca berbagai buku dan literatur tentang pernikahan seraya mempersiapkan diri ke sana. Menuju sebuah tempat di mana keindahan merajut cinta dan menjalin kasih dengan lawan jenis dapat terwujud dalam nuansa halal atas ridha-Nya.

Cinta memang menjanjikan suatu keindahan, baik bagi yang sedang menanti pernikahan atau bagi yang sudah merasakan manisnya berumah tangga semua terasa indah. Ketika menghadapi masalah yang pelik, dihadapi bersama-sama. Ketika menanggung sebuah beban yang berat, ditanggung bersama. Saling menyemangati di saat susah, saling berbagi di saat senang. Bagi sepasang suami-istri, mendidik anak bersama, membangun kehidupan harmonis di bawah ridha-Nya, sang suami yang begitu pulang merasakan kehangatan sambutan istri dan senyum anak-anaknya, istri yang dengan hangatnya menyambut sang suami serta membimbing anak-anaknya, tentu hal yang sangat menyenangkan. Indah cinta benar-benar terasa di sini, cinta yang berlandaskan karena Allah SWT. Namun, mesti ada sebuah perenungan di sini, mari kita sama-sama simak firman Allah SWT berikut ini:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-imron: 14)

Ada satu hal yang perlu kita renungi dari ayat ini. Apakah kita benar-benar mencintai sesuatu itu karena Allah? Apakah semua keindahan yang kita rasakan itu benar-benar nyata atau bersifat sementara? Pernahkah terbayang di pikiran kita ketika semua keindahan dan kesenangan yang kita rasakan itu hilang dalam seketika?

Coba kita renungkan dan tanya ke dalam hati ini. Jika semua yang membuat kita bahagia saat ini, teman, keluarga, ayah, ibu, istri dan semuanya itu tiba-tiba dipanggil oleh Allah SWT. Akankah kita menangis histeris, merasa kehilangan segalanya, merasa dunia tidak bersahabat atau bahkan merasa bahwa Allah tidak adil? Jika ini yang akan kita rasakan maka sekaranglah saatnya kita merekonstruksi niat kita ini.

Ketika kita bersama sebuah kebahagiaan, merasakan indahnya cinta, terkadang ada sebuah hal yang sering terlupakan. Terkadang sering kita menantikan seseorang yang akan mendampingi kita dengan sebuah kebahagiaan dan harapan akan bisa merasakan indahnya cinta, namun lagi-lagi ada sebuah hal yang terlupakan. Jika kita akan merasa begitu sangat sedih dan sangat kehilangan saat orang tersayang kita harus menghadap-Nya, bahkan kita merasa tidak dapat menemukan kebahagiaan lagi karena hal itu maka di sinilah kita telah melupakan suatu hal yang sangat berharga yang menyebabkan segala keindahan dan kesenangan itu hadir.

Cinta kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya cinta. Di kala senang, kita sering melupakan hal ini padahal Allah-lah yang membuat kita merasakan kesenangan itu. Kebahagiaan yang tadi kita sebutkan itu hanya sementara, terbukti ketika kita kehilangan, kita tidak lagi merasakan kebahagiaan itu. Tapi, berbeda kondisinya dengan cinta kepada Allah SWT karena Allah itu kekal sehingga kita tidak akan pernah kehilangan. Cinta yang dapat membuat sebuah tangisan terasa begitu indah.

Di sinilah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya. Ketika kita merajut indahnya jalinan kasih rumahtangga, cinta kepada Allah-lah yang sebenarnya membuat kita merasakan kebahagiaan itu. Kesenangan bersama lawan jenis yang belum halal hanyalah kesenangan semu semata. Kebahagiaan bersama dalam rumah tangga juga tidak boleh melebihi besarnya cinta kepada Sang Pemberi Cinta. Sehingga, ketika sekarang kita sedang mengagumi seseorang, mendambakan seseorang untuk menjadi pendamping hidup kelak, merasakan getar-getir dengan lawan jenis sehingga timbul keinginan memilikinya, dan lainnya. Itu bukanlah hal yang tidak wajar, namun bukankah akan lebih baik jika kita fokuskan hal itu kepada sumber kita meraih cinta itu, yaitu Allah SWT. Rasa kagum terkadang timbul, rasa cinta yang terkadang sulit dihindari, rasa tenteram yang terkadang terasa di hati cobalah untuk menepisnya dengan memfokuskannya kepada Allah SWT karena dengan merasakan indah cinta kepada Allah SWT itu kita bisa merasakan semua kebahagiaan dan ketenteraman itu.

Jadi, ketika kita ingin mendapatkan cinta lawan jenis, alihkanlah dengan keinginan untuk mendapatkan cinta Allah SWT karena itu adalah syarat mutlak bagi kita untuk bisa merasakan keindahan cinta.

Aku ingin mencintaimu
setulusnya, sebenar-benar aku cinta
dalam doa dalam ucapan dalam setiap langkahku
aku ingin mendekatimu selamanya
sehina apapun diriku
kuberharap untuk bertemu denganmu ya Rabbi


http://www.dakwatuna.com/2012/09/30/23237/cinta-yang-terlupakan/#ixzz2k6GxNSqd

Belajar dari Hijrah yang Gagal

Sebelumnya telah ada beberapa orang mukmin yang di perintahkan untuk hijrah dan menjadi hijrah yang pertama bagi kaum muslim yaitu hijrah ke Habasyah yang di pimpin oleh Ja’far bin abu Thalib dan hijrah ini tidak di bersamai oleh Rasulullah SAW. Namun yang akan di paparkan berikut ini adalah hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ke kota Thaif. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Albuthy bercerita kepada kita tentang hijrah Nabi Muhammad ke kota Thaif.

“Setelah merasakan berbagai siksaan dan penderitaan yang di lancarkan kaum Quraisy. Rasulullah SAW berangkat ke Thaif mencari perlindungan dan dukungan dari Bani Tsaqif serta mengharap agar mereka dapat menerima ajaran yang dibawanya dari Allah. Setibanya di Tha’if, beliau menuju tempat para pemuka bani Tsaqif sebagai orang-orang yang berkuasa di daerah itu. Beliau berbicara tentang Islam dan mengajak mereka supaya beriman kepada Allah. Akan tetapi, ajakan beliau itu di tolak mentah-mentah dan di jawab secara kasar. Rasulullah SAW kemudian bangkit dan meninggalkan mereka seraya berharap supaya mereka menyembunyikan berita kedatangan ini dari kaum Quraisy, tetapi mereka pun menolaknya. Mereka lalu mengerahkan kaum penjahat dan para budak untuk mencerca dan melempari dengan batu sehingga mengakibatkan cedera pada kedua kaki Rasulullah SAW. Zaid Bin Haritsah berusaha keras melindungi beliau, tetapi kewalahan sehingga ia sendiri terluka pada kepalanya.”

Jika kita merenungi dan mencermati ini merupakan salah satu kegagalan yang di alami oleh Rasulullah SAW dalam berusaha menyebarkan ajaran Islam. Ketika kita berhenti membaca kisah ini sampai di sini saja maka tentu kita tidak akan mengetahui bahwa kegagalan ini merupakan salah satu dari kegagalan yang mempesona. Kenapa saya katakan ini merupakan kegagalan yang mempesona? tak lain adalah karena menurut saya ini adalah hanya episode awal sebagaimana yang kita ketahui bahwa pada akhirnya Rasulullah SAW berhasil melakukan hijrah berikutnya yaitu hijrah ke  Madinah dan kemudian beliau berhasil membentuk tatanan masyarakat dan mendirikan negara sekaligus mendirikan peradaban dan jika kita hari ini kita mengenal istilah “madani” sesungguhnya itu di ambil dari kata yang berasal dari nama kota madinah hal ini di jadikan rujukan bahwa madinah pada saat itu menjadi cikal bakal peradaban masyarakat terbaik sepanjang massa.

Tujuan awal saya menuliskan goresan kata ini adalah agar kita bersama-sama mengambil hikmah dari suatu kegagalan, mempelajarinya bahkan mensyukuri makna lain dari kegagalan. Marilah kita cermati apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dari kisah gagalnya beliau hijrah ke kota Tha’if dan bahkan menjadikannya salah satu bagian dari suksesnya beliau membangun peradaban di kota madinah.

Yang dilakukan oleh Rasulullah SAW setelah ia mendapati kesakitan dan kegagalan adalah berdoa.

Setelah berlari dari kejaran orang-orang yang menganiayanya. Rasulullah akhirnya tiba di kebun milik uqbah bin Rabi’ah dan kaum yang penjahat dan budak yang mengejarnya berhenti dan kembali. Setelah merasa tenang di bawah rindang pohon anggur. Beliau SAW mengangkat kepalanya seraya berdoa

“Ya Allah, kepadaMu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku dan ketidakberdayaan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai zat yang maha pengasih lagi maha penyayang, Engkaulah pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku. Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Jika Engkau tidak murka kepadaku, semua itu tak kuhiraukan karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajahMu yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat, dari murkaMu yang hendak Engkau turunkan kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenanMu”

Luar biasa sikap bijak yang beliau SAW lakukan. DOA sesungguhnya akan meneguhkan keyakinan. Doa yang beliau panjatkan syarat makna akan sikap kesyukuran walau beliau baru saja mendapati kegagalan. Mungkin jika kita yang mendapati kegagalan barang kali kita akan lupa bersyukur bahkan banyak di antara kita yang menggerutu dan menjadikan kegagalan itu sesuatu yang negative sekaligus melahirkan sikap-sikap negative yang lainnya. Di dalam doanya pula begitu syarat makna pengakuan atas kekuatan Tuhan dan rasa kebergantungan kepada Allah Tuhan semesta yang merajai seluruh alam.

Beliau SAW memunculkan sikap luar biasa yang lahir dari keimanan kepada Tuhannya. Sikap itu adalah sikap sabar sebagaimana yang telah diperintahkan kepada dalam Al Qur’an :

“Hai orang-orang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga dan bertawakallah kepada Allah, supaya kamu beruntung” (Ali Imran: 200)

Yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam menghadapi penderitaan dan penganiayaan tersebut, beliau begitu ikhlas, ridha dan sabar. Seandainya Beliau tidak bersabar akan perlakuan itu tentunya beliau akan membalas apa yang telah dilakukan oleh orang-orang jahat dan tokoh Bani Tsaqif. Namun beliau tidak melakukannya dan itu sebagai bukti sikap positif yang beliau lakukan. Hal ini di ceritakan dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Dari Aisyah RA ia berkata:
“Wahai Rasulullah SAW, pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih berat dari peristiwa Uhud?” jawab Nabi SAW, “aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaummu. Akan tetapi, penganiayaan terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari Aqabah saat aku datang dan berdakwah kepada Ibnul Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi dia menolak tawaran dakwahku. Aku kemudian kembali dengan perasaan tidak menentu sehingga aku baru tersentak dan tersadar ketika di Qarnuts Tsa’alib. Aku angkat kepalaku dan tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya berkata, “sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu dan Allah telah mengutus Malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu”. Nabi SAW melanjutkan “kemudian malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucap salam kepadaku lalu berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung dan Rabbmu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu. Jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka. Aku berkata, “Aku bahkan menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata, tidak MenyekutukanNya dengan sesuatu apapun”.
Dan apakah kau tahu ternyata kelapangan beliau terjawab dengan kemenangan dakwah beliau ketika beberapa waktu setelah kisah itu akhirnya orang-orang datang berbondong-bondong untuk menjadi muslim bahkan berangsur-angsur penduduk jazirah Arab menjadi beriman di bawah bendera Islam yang beliau rintis dari dakwahnya di Mekah dan membangun tatanan peradaban di Madinah. Begitulah jika kegagalan disikapi dengan sikap yang mempesona maka kegagalan itu adalah hanya sebatas episode awal sebelum datangnya episode kemenangan dan kesuksesan yang memukau semesta raya.

Seorang penyair, Musthafa Shadiq Ar Rafi’ terkait kegagalan hijrah nabi yang mempesona ini melukiskan dengan syairnya:

“Betapa ajaib symbol-simbol takdir yang terdapat di dalam peristiwa ini!

 Kebaikan, kedermawanan dan kemuliaan datang begitu cepat memintakan maaf atas kejahatan, kebodohan dan kezhaliman yang baru saja dialaminya. Kecupan mesra itu datang setelah umpatan-umpatan permusuhan”

http://www.dakwatuna.com/2013/03/19/29531/belajar-dari-hijrah-yang-gagal/#ixzz2k6DYp4dv

Kesederhanaan ala Rasulullah SAW

Kesederhanaan akhir-akhir ini menjadi makhluk langka, apalagi di tengah-tengah perkotaan yang megah. Kesederhanaan identik dengan kebodohan dan kemiskinan. Mereka beranggapan bahwa kesederhanaan adalah hidup yang susah dan identik dengan kehidupan yang menderita, padahal anggapan seperti ini adalah anggapan yang keliru dan jauh dari apa yang telah di ajarkan oleh Rasulullah SAW.  Sudah seharusnya dalam kehidupan kita sehari hari untuk selalu meneladani gaya hidup ala Rasulullah tercinta. Karena hidup sederhana bukanlah berarti hidup susah dan menderita karena semua keinginannya tidak terpenuhi, bukan berarti juga meninggalkan kesenangan dunia tapi, kita harus sadar bahwa di setiap kesenangan pasti akan dimintai pertanggungjawabannya, sementara kita sering lupa bahwa kita akan mempertanggungjawabkan nikmat yang kita terima. Seperti:

“Kemudian sungguh, pada hari itu kamu akan ditanya tentang kenikmatan yang kamu peroleh hari ini (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. Al-Takatsur [102]: 8)

Kisah kesederhanaan Rasulullah SAW terekam dalam sebuah hadits yang menceritakan betapa beliau tidak mempunyai keinginan menumpuk harta, walaupun jikalau mau sangatlah mudah baginya. Ketika Islam telah berkembang luas dan kaum muslimin telah memperoleh kemakmuran, Sahabat Umar bin Khattab RA berkunjung ke rumah Rasulullah SAW ketika dia telah masuk ke dalamnya, dia tertegun melihat isi rumah beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk berwudhu. Keharuan muncul dalam hati Umar Ra. Tanpa disadari air matanya berlinang, maka kemudian Rasulullah saw menegurnya. “Gerangan apakah yang membuatmu menangis?” Umar pun menjawabnya, “bagaimana aku tidak menangis Ya Rasulullah? Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal di tangan Tuan telah tergenggam kunci dunia Timur dan dunia Barat, dan kemakmuran telah melimpah.” Lalu beliau menjawab “Wahai Umar aku ini adalah Rasul Allah, Aku bukan seorang Kaisar dari Romawi dan bukan pula seorang Kisra dari Persia. Mereka hanya mengejar duniawi, sedangkan aku mengutamakan ukhrawi.

Kata-kata Aku bukan Kaisar Romawi, Aku bukan Kisra Persia, tidak berarti Rasulullah tidak memiliki kesempatan, mengingat keterangan Umar bahwa di tangan Rasulullah-lah tergenggam kunci dunia Timur dan dunia Barat. Namun niat Rasulullah saw dalam kalimat terakhir itu merupakan kata paling berharga “Mereka hanya mengejar duniawi, sedangkan aku mengutamakan ukhrawi.” Apa yang diisyaratkan Rasulullah saw sangatlah jelas, bahwa tidak selamanya hidup dengan kemewahan dan gelimang harta adalah berkualitas, justru sebaliknya. Seringkali kehidupan semacam itu menjadikan hidup terasa kering dan sunyi, sombong dan akan lebih menjauhkan diri kita dari cinta dan kasih Allah. Kondisi seperti ini adalah seburuk buruk hati, bukankah Allah sangat membenci sesuatu yang serba berlebih lebihan? Ingatlah kesederhanaan adalah kemuliaan, kesederhanaan baru bisa terwujud kala kita menyadari bahwa hidup di dunia hanyalah persinggahan dari perjalanan panjang manusia menuju Tuhan.


http://www.dakwatuna.com/2012/02/19/18772/kesederhanaan-ala-rasulullah-saw/#ixzz2k6Ccv6M2

Fitnah, Oh, Fitnah


“Jika kamu bersabar dan bertaqwa ketika mereka datang menyerang kamu dengan tiba-tiba, niscaya Allah menolongmu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda” (Q.S. Al-Imran: 125)

Mengawali tulisan ini, penulis teringat dengan salah satu perang yang membawa kemenangan bagi pasukan Rasulullah Saw, perang Badr. Perang yang membakar semangat umat Islam, perang yang membuat penulis merinding tatkala membaca kisah-kisah keajaiban yang muncul karena bantuan yang dikirimkan oleh Allah. Seperti kata Allah pada kutipan ayat di atas. Dia datang menolong dien-Nya dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda dan entah dengan jalan apa lagi DIA akan menolong hamba-Nya yang selalu bersabar.

Dalam keadaan bagaimana pun, seruan Allah akan kesabaran ini amat banyak dalam kitab suci Al-Quran, hingga pantaslah jika ‘bersabar’ adalah pekerjaan berat yang akan diujikan kepada tiap hamba yang senantiasa berpegang teguh pada tali agama-Nya. Dan wajarlah bila balasan yang dijanjikan bagi orang yang bersabar adalah surga, sebab ia teramat berat untuk dijalani.

Ketika diri dilanda fitnah, maka di situlah awal sabar hendak ditanam. Tak usah khawatir akan fitnah. Sejak zaman Rasulullah, toh, perbuatan keji itu sudah ada. Masih jelas, amat kental dalam ingatan penulis, ketika orang paling munafik di kalangan Quraisy memfitnah Aisyah RA bahwa beliau sengaja berkhalwat (berduaan) dengan salah seorang sahabat. Padahal, berdasarkan kisah, sungguh hal itu tidaklah seperti yang dituduhkan. Begitu berbahayanya fitnah hingga berita tersebut menyebar di seluruh kalangan dengan begitu cepatnya. Bahkan, salah seorang sahabat, Abu Bakar Assiddiq RA yang dikenal dengan kelembutan hatinya sedemikian marahnya mendengar putrinya, Aisyah, berbuat demikian. Apatah lagi sang suami, lelaki paling mulia, Rasulullah SAW ketika mendengar kabar tersebut kemudian terbesit rasa percaya akan kabar tersebut, sungguh penyiksaan besar yang dirasakan oleh Aisyah RA semalam suntuk beliau menangis pedih. Tiga bulan lamanya ia dijauhi oleh Rasulullah, Saw. Bahkan sempat terdengar kabar, Abu Bakar RA rela putrinya diceraikan sekiranya kabar tersebut benar adanya. Itulah fitnah, punya kekuatan menumbangkan lawan atau musuh dari segi mental. Na’udzu billah tsumma na’udzu billah. Namun, perlu kita ketahui bersama bahwa kebenaran akan terkuak dengan sendirinya. Kesabaran akan membuka tabir fitnah yang tak jelas itu. Jikalau Rasulullah memperoleh kebenaran dari adanya wahyu, tentulah manusia biasa pun akan diberikan jalan oleh-Nya.

Tak perlu risau dengan fitnah. Bukankah memang demikian adanya! Kebenaran akan diiringi oleh kebatilan. Bukankah sangat jelas pula bahwa kemudahan menyertai kesulitan. “Inna ma’al ‘usrii yusroo” (sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan), (QS. Al-Insyirah: 5). Usah resah akan fitnah yang bertandang jika diri sudah berjalan pada koridor yang tepat. Tak mestilah takut menggelayuti. Amat wajar kejujuran mendapat cobaan. Sudah lumrah kebenaran berteman dengan ujian. Semua sudah sunnatullah. Yang terpenting diri tahu bahwa pelaku fitnah alias ‘munafik’ tempatnya adalah Hawiah, lapisan terbawah dari tujuh neraka. Yang jelas diri paham akan firman-Nya dalam Al-Quran surah Al- Baqarah: 217 “Walfitnatu akbaru minal qotli” (Sedangkan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan)

Sekali lagi, tak perlu galau bila diri dilanda fitnah. Janji Allah itu pasti, bahwa “Innalloha ma’a sshoobiriin” (Sesungguhnya Allah bersama dengan orang yang sabar). Surah Al-Imran pada pembukaan tulisan di atas pun amat jelas menerangkan kepada kita bahwa kesabaran adalah kunci kemenangan. Tak perlu memikirkan dengan cara apa Dia akan menolong. Dia jauh lebih punya kuasa dibanding dengan penyebar fitnah. Dia amat tahu melalui cara apa hamba itu dimudahkan-Nya.

Jaga Allah, maka Allah akan menjagamu. Itulah janji-Nya. Betapa indah ia memberikan janji kepada hamba-Nya. Tentulah, Dia akan dating dengan cara yang lebih indah. Penulis teringat dengan sebuah hadits hasan lagi shahih, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi: Dari Abul Abbas Abdullah bin Abbas RA berkata, “Suatu hari aku berada di belakang Nabi SAW lalu beliau bersabda, “Nak, akan aku ajarkan kepadamu beberapa patah kata, jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah, niscaya dia akan senantiasa bersamamu, dan bila engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah, jika semua umat manusia bersatu padu untuk memberikan suatu kebaikan padamu, niscaya mereka tidak dapat melakukannya, kecuali  yang telah ditulis oleh Allah bagimu,  dan jika semua umat manusia bersatu padu mencelakakanmu, niscaya mereka tidak dapat mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang ditulis oleh Allah bagimu. Pena telah diangkat dan catatan-catatan itu telah mengering.

Sungguh dahsyat susunan hadits yang disabdakan oleh Rasulullah. Mudah-mudahan terpetik banyak hikmah. Satu hal yang mesti ditekankan dalam diri bila fitnah benar-benar bertandang adalah bahwa kemenangan akan selalu mengiringi kesabaran. Bersabar terhadap fitnah yang menghampiri insya Allah jalan keluar akan tampak jelas. Wallohu’alam bissawwab.

http://www.dakwatuna.com/2013/02/01/27484/fitnah-oh-fitnah/#axzz2k4Valce5

Memaknai Hijrah Rasulullah SAW

 Ilustrasi. (inet)

Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Begitulah waktu terus berjalan tanpa henti. Meninggalkan segala yang telah terjadi dan menjadikan misteri yang akan datang. Inilah yang menjadikan waktu begitu berharga apa yang kita perbuat tidak akan kembali dan akhirnya penyesalan ataupun kepuasan yang kita alami menjadi sebuah hasil dari yang telah kita lakukan.

Tak terasa tahun baru hijriah telah datang kembali, banyak yang telah kita lalui di tahun ini. Berbagai cerita pun datang menjadikan sebuah pengalaman yang menjadikan guru yang paling berharga bagi diri kita, yang menjadikan solusi di kemudian hari untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

1 Muharram menjadi perayaan tahun baru Islam yang ditandai dengan hijrahnya Rasulullah ke madinah. Bagaimana Rasulullah menghadapi serangan bertubi-tubi di Mekah oleh kaum Quraisy, sehingga Rasulullah hijrah ke madinah dengan maksud untuk menyebarkan Islam di luar Mekah. Rasulullah dan sahabat bukan bermaksud meninggalkan Mekah dan lari untuk tidak berdakwah di Mekah, tetapi Rasulullah menyiapkan generasi-generasi di madinah untuk kembali ke Mekah dan menguasai Mekah dengan Islam. Di Madinahlah Islam berkembang dengan cepat dan akhirnya Rasulullah kembali ke Mekah dan menguasai mekah dengan Islam.

Kita dapat belajar dari kisah hijrah Rasulullah bagaimana Rasulullah tetap berdakwah di Mekah bertahun-tahun dengan cacian dan makian walaupun yang masuk Islam sedikit Rasulullah tetap mempunyai visi yang besar untuk menjadikan Mekah sebagai pusat peradaban Islam, berbagai cara telah dilakukan. Hingga sampai dirasa di Mekah tidak lagi kondusif untuk berdakwah, barulah Rasulullah memutuskan untuk berhijrah untuk menyiapkan generasi untuk tetap mengislamkan penduduk Mekah. Inilah yang harusnya di teladani umat saat ini, bagaimana ketika lingkungan sangat sulit untuk diubah, maka perlu menyiapkan generasi untuk tetap dapat mengubah lingkungan tersebut dengan generasi yang lebih matang dan siap untuk menjadi pionir dalam meneruskan aktivitas dakwah.

Orang besar adalah orang yang mengurusi hal-hal yang besar. Percayalah ketika kita berada dalam suatu barisan yang tersusun kokoh dengan visi yang besar untuk membumikan Islam, maka di sinilah setiap pos-pos dakwah berperan penting terhadap kesuksesan dakwahnya, sehingga ketika di setiap pos-pos dakwah ini telah menjadi kuat maka visi yang besar pun akan menjadi kenyataan. Dan inilah yang menjadikan saksi bahwa kita mempunyai andil besar dalam mewujudkan visi yang besar, untuk menjadi orang yang besar.

Dengan pergantian tahun mari bersama mengevaluasi diri, dan jadikan segala aktivitas menjadikan impian besar untuk menciptakan dunia yang Islami.


http://www.dakwatuna.com/2013/11/07/41823/memaknai-hijrah-rasulullah-saw/#axzz2k4Valce5