Nama
: Chairunnisa
NPM
: 11513863
Kelas
: 3PA04
SIKAP PEKERJA DAN KEPUASAN KERJA
1.
TEORI-TEORI
KEPUASAN KERJA
Menurut Wexley
dan Yukl (1977) teori-teori tentang kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim
dikenal yaitu:
A.
Teori
Perbandingan Intrapersonal (Discrepancy Theory)
Kepuasan
atau ketidakpuasan yang dirasakan oleh individu merupakan hasil dari
perbandingan atau kesenjangan yang dilakukan oleh diri sendiri terhadap
berbagai macam hal yang sudah diperolehnya dari pekerjaan dan yang menjadi
harapannya. Kepuasan akan dirasakan oleh individu tersebut bila perbedaan atau
kesenjangan antara standar pribadi individu dengan apa yang diperoleh dari
pekerjaan kecil, sebaliknya ketidakpuasan akan dirasakan oleh individu bila
perbedaan atau kesenjangan antara standar pribadi individu dengan apa yang
diperoleh dari pekerjaan besar.
B.
Teori Keadilan
(Equity Theory)
Seseorang
akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan
atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity atau inequity atas suatu situasi
diperoleh seseorang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang
sekelas, sekantor, maupunditempat lain.
C.
Teori Dua –
Faktor (Two Factor Theory)
Prinsip
dari teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal
yang berbeda. Menurut teori ini, karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori, yang satu dinamakan Dissatisfier atau hygiene factors dan
yang lain dinamakan satisfier atau motivators.
Satisfier atau motivators adalah
faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja
yang terdiri dari prestasi, pengakuan, wewenang, tanggungjawab dan promosi.
Dikatakan tidak adanya kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi
sangat tidak puas, tetapi kalau ada, akan membentuk motivasi kuat yang
menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh sebab itu faktor ini disebut
sebagai pemuas. Hygiene factors adalah faktor-faktor yang terbukti menjadi
sumber kepuasan, terdiri dari gaji, insentif, pengawasan, hubungan pribadi,
kondisi kerja dan status.
2.
DETERMINAN SIKAP
KERJA
Sikap kerja
dapat dijadikan indikator apakah suatu pekerjaan berjalan lancar atau tidak.
Jika sikap kerja dilaksanakan dengan baik, pekerjaan akan berjalan lancar. Jika
tidak berarti akan mengalami kesulitan. Tetapi, bukan berarti adanya kesulitan
karena tidak dipatuhinya sikap kerja, melainkan ada masalah lain lagi dalam
hubungan antara karyawan yang akibatnya sikap kerjanya diabaikan.
1) Menurut para tokoh :
a)
Gibson
(1997), menjelaskan sikap sebagai perasaan positif atau negatif atau keadaan
mental yang selalu disiapkan, dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang
memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek ataupun
keadaan. Sikap lebih merupakan determinan perilaku sebab, sikap berkaitan
dengan persepsi, kepribadian dan motivasi.
b)
Sada
(2000), adalah tindakan yang akan diambil karyawan dan segala sesuatu yang
harus dilakukan karyawan tersebut yang hasilnya sebanding dengan usaha yang
dilakukan.
2) Sikap yang positif :
a)
Kemauan
untuk bekerja sama. Bekerja sama dengan orang-orang dalam suatu kelompok akan
memungkinkan perusahaan dapat mencapai tujuan yang tidak mungkin dicapai oleh
orang-orang secara individual.
b)
Rasa
memiliki. Adanya rasa ikut memiliki karyawan terhadap perusahaan akan membuat
karyawan memiliki sikap untuk ikut menjaga dan bertanggung jawab terhadap
perusahaan sehingga pada akhirnya akan menimbulkan loyalitas demi tercpainya
tjuan perusahaan.
c)
Hubungan
antar pribadi. Karyawan yang mempunyai loyalitas karyawan tinggi mereka akan
mempunyai sikap fleksibel kea rah tete hubungan antara pribadi. Hubungan antara
pribadi ini meliputi : hubungan social diantara karyawan. Hubungan yang
harmonis antara atasan dan karyawan, situasi kerja dan sugesti dari teman
sekerja.
d)
Suka
terhadap pekerjaan. Perusahaan harus dapat menghadapi kenyataan bahwa
karyawannya tiap hari dating untu bekerja sama sebagai manusia seutuhnya dalam
hal melakukan pekerjaan yang akan dilakukan dengan senang hati sebagai
indikatornya bisa dilihat dari : kesanggupan karyawan dalam bekerja, karyawan
tidak kpernah menuntut apa yang diterimanya di luar gaji pokok.
3) Faktor-faktor Sikap Kerja
Menurut Blum and Naylor (Aniek, 2005)
terdapat beberapa factor yang mempengaruhi sikap kerja, diantaranya:
a)
Kondisi
Kerja → Situasi kerja yang meliputi lingkungan fisik ataupun lingkungan social
yang menjamin akan mempengaruhi kenyamanan dalam bekerja. Karena dengan adanya
rasa nyaman akan mempengaruhi semangat dan kualitas karyawan.
b)
Pengawasan
Atasan → Seorang pimpinan yang melakukan pengawasan terhadap karyawan dengan
baik dan penuh perhatian pada umumnya berpengaruh terhadap sikap dan semangat
kerja karyawan.
c)
Kerja
sama dari teman sekerja → Adanya teman sekerja yang dapat berkerjasama akan
sangat mendukung kualitas dan prestasi dalam menyelesaikan pekerjaan.
d)
Keamanan
→ Adanya rasa aman yang tercipta serta lingkungan yang terjaga akan menjamin
dan menambah ketenangan dalam pekerjaan.
e)
Kesempatan
untuk maju → Adanya jaminan masa depan yang lebih baik dalam hal karier baik
promosi jabatan dan jaminan hari tua.
f)
Fasilitas
kerja → Tersedianya fasilitas-fasilitas yang dapat digunakan karyawan dalam
pekerjaannya.
g)
Upah
atau Gaji → Rasa senang terhadap imbalan yang diberikan perusahaan baik yang
berupa gaji pokok, tunjangan dan sebagainya yang dapat mempengaruhi sikap
karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya.
3.
PENGUKURAN SIKAP
KERJA
Seperti
yang sudah diuraikan sebelumnya, Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor
yang sangat penting untuk mendapatkan hasil kerja yang optimal. Ketika seorang
merasakan kepuasan dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin
dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas
pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja karyawan akan
meningkat secara optimal.
Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan pada dasarnya secara praktis
dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri dan
dibawa oleh setiap karyawan sejak mulai bekerja di tempat pekerjaannya, Sebagai
contoh, karyawan yang sudah lama bekerja memiliki kecenderungan lebih puas
dibandingkan dengan karyawan yang belum lama bekerja (Doering et al., 1983)
Faktor eksentrinsik menyangkut hal-hal yang berasal dari luar diri karyawan,
antara lain kondisi fisik lingkungan kerja, interaksinya dengan karyawan lain,
sistem penggajian dan sebagainya.
Secara teoritis,
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja sangat banyak jumlahnya,
seperti gayakepemimpinan, produktivitas kerja, perilaku, locus of control ,
pemenuhan harapan penggajian dan efektivitas kerja.
1) Salah satu cara untuk menentukan apakah pekerja puas
dengan pekerjaannya atau tidak, ialah dengan membandingkan pekerjaan mereka
dengan beberapa pekerjaan ideal tertentu (teori kesenjangan).
2) Faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur
kepuasan kerja seorang pegawai diantaranya :
a)
Isi
pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap
pekerjaan
b)
Supervise
c)
Organisasi
dan manajemen
d)
Kesempatan
untuk maju
e)
Gaji
dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti adanya insentif
f)
Rekan
kerja
g)
Kondisi
pekerjaan
3) Menurut Job Descriptive Index (JDI) faktor penyebab
kepuasan kerja, pengukuran sikap/kepuasan kerja, diantaranya :
a)
Bekerja
pada tempat yang tepat
b)
Pembayaran
yang sesuai
c)
Organisasi
dan manajemen
d)
Supervisi
pada pekerjaan yang tepat
e)
Orang
yang berada dalam pekerjaan yang tepat
4.
HUBUNGAN
PELAKSANAAN KERJA DAN KEPUASAN KERJA
Seorang pekerja
yang masuk dan bergabung dalam suatu organisasi, institusi maupun perusahaan
mempunyai seperangkat keinginan, kebutuhan , hasrat dan pengalaman masa lalu
yang menyatu dan membentuk suatu harapan yang diharapkan dapat dipenuhi di
tempatnya bekerja. Kepuasan kerja ini akan didapat apabila ada kesesuaian
antara harapan pekerja dan kenyataan yang didapatkan ditempat bekerja. Persepsi
pekerja mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kepuasan kerja
melibatkan rasa aman, rasa adil, rasa menikmati, rasa bergairah, status dan
kebanggaan.
Keyakinan bahwa karyawan yang terpuaskan
akan lebih produktif daripada karyawan yang tak terpuaskan merupakan suatu
ajaran dasar diantara para manajer selama bertahun-tahun (Robbins, 2001:26).
Menurut Strauss dan Sayles dalam Handoko
(2001:196) kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi, karyawan yang tidak
memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis, dan
pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan yang seperti ini akan sering
melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, emosi
tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya
dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Sedangkan karyawan yang mendapatkan kepuasan
kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran dan perputaran kerja yang lebih
baik, kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan, dan kadang-kadang
berprestasi bekerja lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan
kerja. Oleh karena itu kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi karyawan
maupun perusahaan, terutama karena menciptakan keadaan positif di dalam
lingkungan kerja perusahaan.
Peningkatan kepuasan kerja karyawan pada suatu organisasi tidak bisa dilepaskan dari peranan pemimpin dalam organisasi tersebut, kepemimpinan merupakan kunci utama dalam manajemen yang memainkan peran penting dan strategis dalam kelangsungan hidup suatu perusahaan, pemimpin merupakan pencetus tujuan, merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan dan mengendalikan seluruh sumber daya yang dimiliki sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya (Handoko, 2001 : 291). Oleh sebab itu pemimpin suatu organisasi perusahaan dituntut untuk selalu mampu menciptakan kondisi yang mampu memuaskan karyawan dalam bekerja sehingga diperoleh karyawan yang tidak hanya mampu bekerja akan tetapi juga bersedia bekerja kearah pencapaian tujuan perusahaan.
Setiap karyawan memiliki keinginan untuk mengimplementasikan pengetahuan, keahlian dan pendidikan yang didapatkan sebelumnya kepada perusahaan dimana mereka bekerja. Jika mereka tidak mampu mengaplikasikannya, mereka akan menjadi tidak puas dan pada akhirnya akan mempengaruhi lama bekerja (length of employment), hal ini bisa dikaitkan dengan loyalitas karyawan. Jika karyawan dihargai secara adil sesuai dengan prestasi kerjanya maka mereka akan merasa nyaman dalam bekerja dan tidak memiliki tendensi untuk berpindah pekerjaan di tempat lain (Siehoyono, 2004).
Menurut Miller (1991), kepuasan karyawan adalah suatu ukuran kepuasan dari tiap personel dengan peran yang berbeda dalam organisasi dan meliputi keterlibatan perusahaan (company involvement), keuangan dan status kerja (financial dan job status), dan kepuasan kerja intrinsik (intrinsic job satisfaction).
1) Hubungannya dapat dilihat dari beberapa pengaruh, diantaranya:
a)
Pengaruh
Antara Kerja Sama (teamwork) Dengan Kepuasan Karyawan. Greenberd dan Baron
(2003) menyatakan bahwa team adalah suatu kelompok yang anggotanya memiliki
keahlian yang saling melengkapi dan masing-masing berkomitmen kepada tujuan
yang sama (Siehoyono, 2004). Kerja sama yang saling menguntungkan dan mendukung
dalam suatu organisasi, akan menimbulkan kepuasan tersendiri pada anggota
kelompok itu sendiri. Dari studi yang dilakukan oleh Loveman (1998) terhadap
bank retail disimpulkan bahwa kerja sama adalah salah satu faktor yang memberi
kontribusi atas kepuasan karyawan selain kualitas perusahaan, penghargaan dan
fokus konsumen. Kesimpulan ini juga didukung pernyataan dari Heinhuis et
al.,(1998).
b)
Pengaruh
Antara Kesesuaian Terhadap Pekerjaan (employee job fit) Dengan Kepuasan
Karyawan.
Advantage Hiring, Inc mendefinisikan kesesuaian kerja sebagai karakteristik dari lingkungan kerja (Mozkowitz, Get “FIT” to reduce turnover, n.d.). Menurut O’Reilly, Chatman, & Caldwell (1991), tujuan perusahaan yang menyatu kepada tujuan karyawan secara perorangan akan menjadikan karyawan merasa sayang untuk pergi (Mozkowitz, Get “FIT” to reduce turnover, n.d.). Namun sebaliknya, karyawan yang merasa tidak cocok dengan tujuan perusahaan cenderung tidak puas dan meninggalkan perusahaan (Lovelace dan Rosen, 1996). Semakin tinggi kesesuaian terhadap pekerjaan, maka akan semakin kecil penyimpangan terhadap performa kerja.
Advantage Hiring, Inc mendefinisikan kesesuaian kerja sebagai karakteristik dari lingkungan kerja (Mozkowitz, Get “FIT” to reduce turnover, n.d.). Menurut O’Reilly, Chatman, & Caldwell (1991), tujuan perusahaan yang menyatu kepada tujuan karyawan secara perorangan akan menjadikan karyawan merasa sayang untuk pergi (Mozkowitz, Get “FIT” to reduce turnover, n.d.). Namun sebaliknya, karyawan yang merasa tidak cocok dengan tujuan perusahaan cenderung tidak puas dan meninggalkan perusahaan (Lovelace dan Rosen, 1996). Semakin tinggi kesesuaian terhadap pekerjaan, maka akan semakin kecil penyimpangan terhadap performa kerja.
c)
Pengaruh
Antara Kesesuaian Terhadap Teknologi (technology job fit) Dengan Kepuasan
Karyawan.
Kesesuaian terhadap teknologi berkaitan dengan ketepatan terhadap alat atau teknologi yang digunakan dalam bekerja. Penelitian menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat antara technology job fit dengan employee satisfaction (Corbet et al., 1989). Dengan kata lain, penggunaan teknologi yang sesuai akan menjadikan pekerjaan tersebut efisien dan menimbulkan rasa puas dalam diri karyawan. Semakin tinggi kesesuaian terhadap teknologi, maka akan semakin besar komitmen pada perusahaan.
Kesesuaian terhadap teknologi berkaitan dengan ketepatan terhadap alat atau teknologi yang digunakan dalam bekerja. Penelitian menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat antara technology job fit dengan employee satisfaction (Corbet et al., 1989). Dengan kata lain, penggunaan teknologi yang sesuai akan menjadikan pekerjaan tersebut efisien dan menimbulkan rasa puas dalam diri karyawan. Semakin tinggi kesesuaian terhadap teknologi, maka akan semakin besar komitmen pada perusahaan.
d)
Pengaruh
Antara Kemampuan Kontrol Diri (perceived control) Dengan Kepuasan Karyawan →
Kemampuan kontrol diri mewakili hubungan antara reaksi individu terhadap
tekanan dan kemampuan untuk mengendalikan situasi tersebut (Zeithaml et al.,
1991). Menurut Averill (1973, dikutip dari Zeithaml et al., 1991) ada 3 bentuk
kontrol yaitu: (1) kontrol perilaku yaitu kemampuan untuk memberi respon yang
mempengaruhi situasi yang mengancam; (2) kontol kognitif yaitu kemampuan untuk
mengurangi tekanan sesuai informasi yang diproses, dan (3) kontrol keputusan
melibatkan seleksi atau pemilihan tujuan. Semakin tinggi kemampuan kontrol
diri, maka akan semakin besar komitmen pada perusahaan.
e)
Pengaruh
Antara Sistem Pengontrolan Pengawasan (supervisory control system) Dengan
Kepuasan Karyawan.
Definisi sistem pengontrolan pengawasan adalah untuk menentukan aktivitas mengawasi karyawan, selain itu juga mencakup dukungan sosial (Zeithaml et al.,1991). Dalam kondisi yang sederhana, sistem pengontrolan pengawasan merujuk pada tingkat dimana perilaku karyawan di evaluasi lebih dibandingkan kuantitas output. Menurut Butler (1999), pengawasan mempunyai peran penting dalm mengkoordinasikan kerja sama diantara karyawan (kesatuan grup dapat didukung dengan efisiensi oleh para manajer). Semakin baik system pengontrolan pengawasan, maka akan semakin tinggi kerjasama dan kepercayaan karyawan terhadap manajer (Siehoyono, 2004).
Definisi sistem pengontrolan pengawasan adalah untuk menentukan aktivitas mengawasi karyawan, selain itu juga mencakup dukungan sosial (Zeithaml et al.,1991). Dalam kondisi yang sederhana, sistem pengontrolan pengawasan merujuk pada tingkat dimana perilaku karyawan di evaluasi lebih dibandingkan kuantitas output. Menurut Butler (1999), pengawasan mempunyai peran penting dalm mengkoordinasikan kerja sama diantara karyawan (kesatuan grup dapat didukung dengan efisiensi oleh para manajer). Semakin baik system pengontrolan pengawasan, maka akan semakin tinggi kerjasama dan kepercayaan karyawan terhadap manajer (Siehoyono, 2004).
f)
Pengaruh
Antara Konflik Peran (role conflict) Dengan Kepuasan Karyawan.
Ketika individu dihadapkan pada peran yang menyimpang dari harapan, hasilnya adalah konflik peran (Robbins, 1996). Konflik peran adalah suatu situasi yang terjadi jika sesorang diharapkan untuk memerankan dua peran yang bertentangan. Perubahan yang sering terjadi terhadap lokasi kerja, jumlah staff pendukung dan tanggungjawab pengawasan diidentifikasikan oleh Kahn et al., (1964) sebegai penyebab adanya konflik yang salah satunya adalah konflik peran (role conflict). Konflik yang tidak kunjung terselesaikan akan mempengaruhi performa kerja (Bernard & White, 1986), dan konsekuensinya adalah penurunan kepuasan kerja (Kahn et al., 1964). sebegai penyebab adanya konflik yang salah satunya adalah konflik peran (role conflict). Konflik yang tidak kunjung terselesaikan akan mempengaruhi performa kerja (Bernard & White, 1986), dan konsekuensinya adalah penurunan kepuasan kerja (Kahn et al., 1964).
Ketika individu dihadapkan pada peran yang menyimpang dari harapan, hasilnya adalah konflik peran (Robbins, 1996). Konflik peran adalah suatu situasi yang terjadi jika sesorang diharapkan untuk memerankan dua peran yang bertentangan. Perubahan yang sering terjadi terhadap lokasi kerja, jumlah staff pendukung dan tanggungjawab pengawasan diidentifikasikan oleh Kahn et al., (1964) sebegai penyebab adanya konflik yang salah satunya adalah konflik peran (role conflict). Konflik yang tidak kunjung terselesaikan akan mempengaruhi performa kerja (Bernard & White, 1986), dan konsekuensinya adalah penurunan kepuasan kerja (Kahn et al., 1964). sebegai penyebab adanya konflik yang salah satunya adalah konflik peran (role conflict). Konflik yang tidak kunjung terselesaikan akan mempengaruhi performa kerja (Bernard & White, 1986), dan konsekuensinya adalah penurunan kepuasan kerja (Kahn et al., 1964).
g)
Pengaruh
Antara Ambiguitas Peran (role ambiguity) Dengan Kepuasan Karyawan.
Ambiguitas peran dalam perspektif karyawan oleh Mills dan Margulies mengacu secara khusus kepada situasi yang tidak jelas mengenai bagaimana menjalankan peran dalam organisasi. Ambiguitas peran dihasilkan dari ketidakpastian seseorang tentang harapan mereka dari pekerjaan yang diberikan (Werther dan Davis, 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Kahn et al., (1964), menyatakan bahwa peran dalam organsasi yang perkembangannya terus berubah akan menimbulkan ketidakjelasan peran karena ekspektasi yang ada juga sering berubah. Ketidakmampuan dalam menghadapi ambiguitas peran merupakan salah satu penyebab tekanan dalam bekerja (Rizzo et al., 1970), dan juga berpengaruh pada penurunan kepuasan kerja karyawan (Fisher & Gitelson, 1983; Jackson & Schuler, 1985; Lamble, kepuasan kerja karyawan 1980, Igbaria & Guimaraes, 1993 dikutip dari Chambers, Moore & Bachtel, n.d.).
Ambiguitas peran dalam perspektif karyawan oleh Mills dan Margulies mengacu secara khusus kepada situasi yang tidak jelas mengenai bagaimana menjalankan peran dalam organisasi. Ambiguitas peran dihasilkan dari ketidakpastian seseorang tentang harapan mereka dari pekerjaan yang diberikan (Werther dan Davis, 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Kahn et al., (1964), menyatakan bahwa peran dalam organsasi yang perkembangannya terus berubah akan menimbulkan ketidakjelasan peran karena ekspektasi yang ada juga sering berubah. Ketidakmampuan dalam menghadapi ambiguitas peran merupakan salah satu penyebab tekanan dalam bekerja (Rizzo et al., 1970), dan juga berpengaruh pada penurunan kepuasan kerja karyawan (Fisher & Gitelson, 1983; Jackson & Schuler, 1985; Lamble, kepuasan kerja karyawan 1980, Igbaria & Guimaraes, 1993 dikutip dari Chambers, Moore & Bachtel, n.d.).
2)
Hubungan antara
tipe perilaku dengan kepuasan kerja
Setiap manusia
selalu menunjukkan tipe perilaku yang berbeda antara manusia yang satu dengan
manusia lainnya. Oleh karena itu manusia dikatakan sebagai makhluk yang
memiliki keunikan tersendiri. Tipe perilaku merupakan deskripsi tentang penampilan
individu dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupannya sehari-hari, termasuk
penampilan seorang karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Tipe perilaku ini
dibedakan atas 2 tipe, yaitu tipe perilaku A dan tipe perilaku B. Tipe perilaku
A digambarkan sebagai seorang karyawan yang secara kontinu berjuang untuk
mendapatkan terlalu banyak dalam melaksanakan pekerjaan mereka, dalam waktu
yang terlalu sedikit ataupun dengan melewati terlalu banyak hambatan pada saat
mereka melaksanakan pekerjaannya.
Karyawan yang memiliki tipe perilaku A rentan terhadap gangguan koroner. Akibat efek genetik ataupun efek-efek pengalaman terdahulu seorang karyawan, karyawan dengan tipe perilaku A akan menunjukkan respons susunan saraf otonom yang berlebihan secara tidak normal dalam keadaan terancam. Adanya ketergesaan persaingan serta peningkatan stres yang menyertainya akan meningkatkan aktivitas saraf simpatis dan memberikan kontribusi bagi kemungkinan timbulnya penyakit jantung koroner. Dengan demikian seorang karyawan yang mempunyai tipe perilaku A lebih banyak mengalami kesulitan dalam bekerja. Keadaan ini menyebabkan timbulnya rasa ketidak puasan di dalam bekerja.
Sedangkan karyawan yang memiliki tipe perilaku B adalah mereka yang tidak memiliki karakteristik seperti yang terlihat pada tipe perilaku A. Orang yang memiliki tipe perilaku B tidak mudah terkena stres, lebih mudah dalam menjalani kehidupannya, memiliki ketenangan dan tidak tergesa-gesa dalam melakukan suatu pekerjaan. Dengan demikian seorang karyawan yang tidak memiliki tipe perilaku B tidak rentan terhadap gangguan koroner, sehingga pekerjaan yang dilakukan lebih memberikan kepuasan dalam bekerja. Salah satu faktor yang mendorong timbulnya kepuasan kerja seorang karyawan adalah kepribadian yang ditampilkan atau tampak melalui tipe perilaku yang ditampilkan oleh seorang karyawan pada saat melakukan pekerjaannya. Dari uraian di atas, maka dapat diduga terdapat hubungan positif antara tipe perilaku dengan kepuasan kerja karyawan. Makin kuat tipe perilaku B yang ditampilkan seorang karyawan dalam menghadapi berbagai tekanan, ancaman dan hambatan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya maka makin puas karyawan dalam bekerja.
3)
Hubungan antara
pemenuhan harapan penggajian dengan kepuasan kerja
Manusia bekerja
mempunyai tujuan, antara lain untuk mendapatkan penghasilan agar kebutuhan dan
keinginannya dapat terpenuhi dengan baik. Kepuasan kerja adalah respons umum
karyawan berupa perilaku yang ditampilkan oleh karyawan sebagai hasil persepsi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Dengan kata lain kepuasan
kerja adalah seperangkat perasaan karyawan tentang hal menyenangkan atau tidak
menyenangkan pekerjaan yang dilakukan, baik didasarkan atas imbalan material
maupun psikologis.
Seorang karyawan akan mendapat kepuasan kerja jika ia mempersepsikan bahwa imbalan yang diterima baik berupa gaji, insentif, tunjangan dan penghargaan lainnya yang tidak berbentuk materi atas pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan nilainya lebih tinggi daripada pengorbanannya berupa tenaga dan ongkos yang telah dikeluarkan untuk melakukan pekerjaan itu. Kelebihan yang didapat masih cukup untuk dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup diri keluarga (bagi yang telah berkeluarga) serta kebutuhan lain. Kepuasan kerja akan didapat jika ada kesesuaian antara harapan penggajian karyawan dengan besarnya imbalan yang diterima, baik yang berupa materi maupun non materi.
Dari uraian di atas, dapat diduga terdapat hubungan antara pemenuhan harapan penggajian karyawan dengan kepuasan kerja karyawan tersebut. Artinya, makin sesuai pelaksanaan penggajian dengan harapan karyawan yang didasarkan atas kebutuhan minimalnya, makin besar kepuasan kerjanya.
5.
MENCEGAH DAN
MENGATASI KETIDAKPUASAAN KERJA
Banyak cara
untuk mengatasi serta mencegah ketidakpuasaan kerja, dari uraian yang telah ada
kita dapat menggambarkan bahwasannya arti seorang karyawan dalam suatu
perusahaan maupun institusi merupakan penting artinya bagi kelangsungan dan
perkembangan perusahaan tersebut. Maka untuk mengindari adanya ketidakpuasan
kerja yang dialami karyawan, para supervise, manajer, maupun pimpinan harus
mempunyai kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan karyawan baik psikologisnya maupun
materi yang dapat mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya ketidakpuasan
kerja. Jangan sampai terjadi seperti kasus yang telah diuraikan.
1) Menurut Model Theory of Work Adjustment terdapat 20 dimensi yang menjelaskan 20 kebutuhan elemen atau kondisi penguat spesifik yang penting dalam menciptakan kepuasan kerja. Dimensi-dimensi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a)
Ability
Utilization adalah pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh karyawan.
b)
Achievement
adalah prestasi yang dicapai selama bekerja.
c)
Activity
adalah segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam bekerja.
d)
Advancement
adalah kemajuan atau perkembangan yang dicapai selama bekerja.
e)
Authority
adalah wewenang yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan.
f)
Company
Policies and Practices adalah kebijakan yang dilakukan adil bagi karyawan.
g)
Compensation
adalah segala macam bentuk kompensasi yang diberikan kepada para karyawan.
h)
Co-workers
adalah rekan sekerja yang terlibat langsung dalam pekerjaan.
i)
Creativity
adalah kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan pekerjaan.
j)
Independence
adalah kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja.
k)
Moral
values adalah nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam melakukan
pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.
l)
Recognition
adalah pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan.
m)
Responsibility,
tanggung jawab yang diemban dan dimiliki.
n)
Security,
rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
o)
Social
Service adalah perasaan sosial karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
p)
Social
Status adalah derajat sosial dan harga diri yang dirasakan akibat dari
pekerjaan.
q)
Supervision-Human
Relations adalah dukungan yang diberikan oleh badan usaha terhadap pekerjanya.
r)
Supervision-Technical
adalah bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan atasan kepada karyawan.
s)
Variety
adalah variasi yang dapat dilakukan karyawan dalam melakukan pekerjaannya.
t)
Working
Conditions, keadaan tempat kerja dimana karyawan melakukan pekerjaannya.
2)
Menurut Jewell
dan Siegall (1998) beberapa aspek dalam mengukur kepuasaan kerja:
a)
Aspek
psikologis, berhubungan dengan kejiwaan karyawan meliputi minat, ketentraman
kerja, sikap terhadap kerja, bakat dan ketrampilan.
b)
Aspek
sosial, berhubungan dengan interaksi sosial, baik antar sesama karyawan dengan
atasan maupun antar karyawan yang berbeda jenis kerjanya serta hubungan dengan
anggota keluarga.
c)
Aspek
fisik, berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik
karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja, pengaturan waktu
istirahat, keadaan ruangan, suhu udara, penerangan, pertukaran udara, kondisi
kesehatan karyawan dan umur.
3)
Terdapat empat
cara mengungkapkan ketidakpuasan karyawan:
a)
Keluar
(Exit): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan meninggalkan pekerjaan.
Termasuk mencari pekerjaan lain.
b)
Menyuarakan
(Voice): Ketidakpuasan kerja yang diungkap melalui usaha aktif dan konstruktif
untuk memperbaiki kondisi termasuk memberikan saran perbaikan, mendiskusikan
masalah dengan atasannya.
c)
Mengabaikan
(Neglect): Kepuasan kerja yang diungkapkan melalui sikap membiarkan keadaan
menjadi lebih buruk, termasuk misalnya sering absen atau datang terlambat,
upaya berkurang, kesalahan yang dibuat makin banyak.
d)
Kesetiaan
(Loyalty): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan menunggu secara pasif
sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela perusahaan terhadap
kritik dari luar dan percaya bahwa organisasi dan manajemen akan melakukan hal
yang tepat untuk memperbaiki kondisi.
e)
Kesehatan
: Meskipun jelas bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kesehatan, hubungan
kausalnya masih tidak jelas. Diduga bahwa kepuasan kerja menunjang tingkat dari
fungsi fisik mental dan kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan.
Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga
peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya
penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif.
4) Cara lainnya untuk mencegah terjadinya ketidakpuasan
kerja pada karyawan adalah dengan melihat apa saja yang menjadi elemen atau
aspek-aspek pendukung dalam sikap kerja. Menurut Osada (2000), aspek-aspek yang
mendukung sikap kerja karyawan dibagi menjadi 5 hal penting. Tujuannya, untuk
menciptakan suatu sikap kerja yang sesuai kebiasaan yang baik dan perilaku yang
baik sehingga karyawan dapat bekerja dengan lancar dan mematuhi peraturan. Lima
aspek tersebut, diantaranya :
a)
Pemilahan
(seiri) → Pemilahan berarti memilah segala sesuatu dengan aturan atau prinsip
tertentu. Langkah yang harus ditempuh adalah membagi segala sesuatu ke dalam
kelompok sesuai dengan urutan kepentingannya dan membaginya dengan memutuskan
mana yang penting dan mana yang sangat penting. Pemilahan merupakan dasar dari
sikap kerja.
b)
Penataan
(seiton) → Penataan bertujuan untuk menghilangkan proses pencarian. Yang diutamakan
adalah penghapusan proses pencarian dan manajemen fungsional dengan cara
mendasarkan pada seberapa banyak yang bisa disimpan dalam pikir/otak dan
bertindak dengan cepat.
c)
Pembersihan
(seiso) → Pembersihan merupakan salah satu bentuk pemeriksaan. Yang diutamakan
dalam pembersihan adalah pemeriksaan terhadap tindakan yang dilakukan dan
menciptakan sikap kerja yang tidak memiliki cacat ataupun cela. Prinsipnya
adalah pemeriksaan dan tingkat kebersihan.
d)
Pemantapan
(seiketsu) → Pemantapan berarti terus menerus dan secara berulang-ulang
memelihara pemilahan, penataan dan pembersihannya.. Prinsip dari pemantapan
adalah inovasi dan manajemen diri untuk mencapai dan memelihara kondisi yang
sudah dimantapkan sehingga dapat bertindak dengan cepat.
e)
Pembiasaan
(shitsuke) → Pembiasaan berarti menanamkan kemampuan untuk melakukan sesuatu
dengan cara yang benar. Prinsip yang digunakan adalah menciptakan suatu sikap
kerja yang sesuai lewat kebiasaan dan perilaku yang baik sehingga nantinya
karyawan dapat bekerja dengan baik dan mematuhi peraturan.
Daftar
Pustaka
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M.,
Donnelly, Jr., J.H., 1990, Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses (Terj.),
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Handoko, T. Hani. 2001. Manajemen
Personalia dan Sumber Daya Manusia.Yogjakarta: BPFE .
Kreitner, Robert & Kinicki.,
Anggelo. 2005. Perilaku Organisasi. Jakarta : Salemba Empat.
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005.
Evaluasi Kinerja SDM. Bandung : Refika Aditama.
Wexley, K.N., Yukl, G.A., 1977,
Organizational Behavior and Personal Psychology, Richard D. Irwin Inc.,
Homewood, Illinois.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar